Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Tuesday, February 13, 2007

Stigmatisasi Musibah

Saya baru tersadar setelah membaca kolom berjudul Angin Goreng Sutiyoso 1 & 2 yang ditulis oleh Eddie Santosa di dalam Detik. Saya baru tersadar betapa kita selalu membiarkan kita dizalimi oleh para elite penguasa Jakarta. Ya, bagaimana kita tidak membiarkan penzaliman itu jika kita selalu menerima kenyataan bahwa banjir itu adalah "musibah"; dan musibah dalam kosmologis nenek moyang kita adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Coba saja, banyak orang yang dalam upaya menghibur selalu mengatakan, "Sudahlah namanya saja musibah. Ini cobaan dari Tuhan. Kita harus menerimanya dengan lapang dada."

Dengan distigmatisasi menggunakan istilah musibah, banjir di Jakarta akan selalu kita terima dengan lapang dada seperti bencana gempa bumi, misalnya. Padahal, ada hal yang berbeda antara bencana gempa bumi dan banjir di Jakarta kali ini. Gempa bumi adalah sebuah peristiwa geologis yang sampai saat ini masih sulit diprediksikan meskipun tetap bisa diantisipasi sih dengan penguasaan teknologi antigempa. Jadi, kalaupun gempa terjadi, kita masih bisa menerimanya masuk ke dalam ranah musibah. Sementara itu, banjir di Jakarta jelas-jelas nyata penyebab non-alamnya: berkurangnya daerah resapan air karena pembangunan jor-joran properti yang tidak mengindahkan keseimbangan alam. Jadi, pasti ada yang harus bertanggung jawab. Nah, apakah kita tetap setuju bahwa banjir Jakarta 2007 disebut musibah dan menerimanya dengan lapang dada, sementara pihak yang seharusnya bertanggung jawab kita biarkan saja meneruskan tindakannya yang merusak keseimbangan alam di Jakarta dan sekitarnya? Mari kita renungkan kembali, Saudaraku.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home