Rasa sayange, rasa sayang sayange.
Eee ... liat dari jauh rasa sayang sayange.
Selain versi ini, ada juga versi-versi lain yang sedikit berbeda dan juga dikenal di Indonesia.
Rasa sayange, rasa sayang sayange.
Lihat nona dari jauh rasa sayang sayange.
Rasa sayange, rasa sayang sayange.
Beta liat dari jao(h) rasa sayang sayange.
Itulah bagian awal dari sebuah lagu rakyat yang dinyanyikan oleh hampir semua anak negeri mulai dari Semenanjung Malaya sampai ke pantai-pantai di penghujung Papua. Nampaknya, bagian awal itu pula yang menjadi chorus dari lagu rakyat ini. Dugaan ini cukup kuat karena chorus biasanya dibuat dari kumpulan notasi yang mudah diingat oleh pendengar dan notasi melodinya pun tidak terlalu panjang. Selain itu, bagian chorus biasanya dinyanyikan berulang-ulang untuk menguatkan citra komposisi sebuah lagu. Bagian lainnya yang berupa verse atau bait terdiri atas sampiran dan isi; mirip sekali dengan struktur pantun. Yah, kemiripan itu wajar juga karena bagian verse ini umumnya pun diisi oleh pantun-pantun tersohor, misalnya: "Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi (sampiran); kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi (isi)." Kelihatan sekali bahwa lagu ini merupakan lagu pergaulan karena sifatnya mirip dengan pantun yang mengharuskan penyanyi terdiri atas, paling sedikit, dua kubu dan saling bersahut-sahutan.
Sebenarnya, dalam khazanah lagu rakyat di nusantara, cukup banyak lagu-lagu berpantun seperti ini, baik yang sifatnya terbatas maupun bebas seperti Rasa Sayange. Lagu Cacamarica mungkin salah satu contoh lagu berpola sampiran-isi, namun bersifat terbatas. Kemudian, lagu melayu Selayang Pandang dan lagu Keroncong Kemayoran bisa dikategorikan sebagai lagu berpola sampiran-isi yang bersifat lebih bebas. Pada kedua lagu terakhir, sebuah pantun, asal memenuhi kaidah sampiran-isi dengan jumlah sukukata 9 untuk tiap bait, dapat dimasukkan seluruhnya ke dalam kerangka verse lagu-lagu tersebut. Rumus itu pula yang berlaku untuk Rasa Sayange. Di luar komunitas bahasa Melayu, lagu berpola sampiran-isi juga cukup banyak ditemukan di komunitas bahasa lain, misalnya bahasa Jawa. Lagu Walang Kekek, Gethuk, dan terakhir lagu adaptasi Cucak Rowo adalah contoh dari sekian banyak lagu berpola sampiran-isi seperti ini.
Kembali ke Rasa Sayange, lagu ini pulalah yang belakangan ini menjadi rebutan di antara dua negara serumpun dan menjadi bahan diskusi panjang mulai dari warung kopi, hingga ke ruangan berpendingin para wakil rakyat. Adalah Malaysia Tourism Board yang memulai melempar batu ke kolam yang tenang dengan mengusung lagu Rasa Sayange itu sebagai jingle promosi wisata mereka. Dan seperti biasa, masyarakat Indonesia, yang mungkin belum lupa dari rasa sakit akibat peristiwa wasit karate atau TKI, bereaksi keras dan mengecam cara Malaysia mengakuisisi lagu rakyat yang juga dianggap sebagai milik masyarakat Indonesia itu.
Masalahnya agak sulit memang karena lagu rakyat ini sama-sama diklaim sudah lama dinyanyikan baik di belahan Malaysia maupun di belahan Indonesia. Saya pun sudah mengenal lagu ini, dengan tiga versi chorus di atas, ketika masih kecil. Sulitnya lagi adalah, seperti umumnya karya-karya lama, tradisi nusantara lama tidak mengenal adanya hak cipta dan mempunyai doktrin bahwa karya seni adalah milik masyarakat luas, maka pencipta sangat jarang membubuhkan namanya di belakang karya ciptaannya. Jadi, meskipun masyarakat Maluku mengklaim lagu rakyat itu milik leluhur mereka kalau penciptanya NN, mungkin susah untuk membuktikannya.
Satu-satunya yang paling mungkin adalah dengan melakukan analisis linguistik dan etnomusikologi. Dari sisi linguistik, karena ini yang paling mudeng buat saya, barangkali klaim beberapa tokoh Maluku di media massa ada benarnya. Dalam dialek atau bahasa yang dituturkan di Pulau Ambon dan sekitarnya, partikel -e biasanya memang sering digunakan. Jejaknya pun bisa kita temukan dalam lagu-lagu dari ranah Maluku tersebut. Misalnya, penggalan lagu Buka Pintu, "Buka pintu buka pintu, beta mau masuke; siolah nona nona beta, adalah di mukae;" atau penggalan lagu Hela Rotane, "Hela hela rotane rotane tifa jawa, jawae bebunyi; rotan rotan sudah putus sudah putus ujung dua, dua baku dapae." Selain itu, dari segi pilihan kata pun, dalam dua versi terakhir di atas ada kata nona dan beta yang secara kuat menunjukkan pengaruh dialek-dialek atau bahasa-bahasa di Indonesia Timur. Jarang sekali kita temukan penyebutan perempuan muda dengan kata nona di dalam masyarakat Melayu di sisi barat Indonesia. Juga jarang sekali penggunakan kata beta untuk merujuk orang pertama di komunitas tersebut. Kalaupun kedua bentuk itu kini digunakan di wilayah yang lebih luas, itu terjadi pada masa modern dan berkat penyebaran media massa.
Selain aspek morfologis dan leksikal tersebut, kita bisa juga melihatnya secara intertekstual dengan melihat teks-teks atau lagu-lagu yang lain. Dalam khazanah lagu rakyat di Indonesia timur, ada juga beberapa lagu yang berjudul atau menggunakan kata sayang secara signifikan. Sebut saja, misalnya, lagu Sayang Kene dan Si Patokaan.
Dari aspek musik, beat atau birama pada lagu Rasa Sayange jelas tidak seperti umumnya lagu-lagu Melayu atau dari wilayah Barat. Notasi dalam Rasa Sayange lebih mempunyai kemiripan dengan notasi lagu-lagu dari Maluku. Namun, itu memang perlu dibuktikan oleh ahli etnomusikologi. Jelas itu bukan pekerjaan mudah.
Di luar itu semua, tulisan ini dilandasi oleh semangat untuk menjunjung tinggi persaudaraan antara Indonesia dan Malaysia. Sebaiknya masyarakat Indonesia tidak cepat terpancing emosi. Segalanya harus dipikirkan matang-matang terlebih dahulu, dan pemerintah sebaiknya meninggalkan kebijakannya selama ini yang cenderung reaktif. Sebaliknya, ini juga penting, Malaysia juga tidak boleh gegabah dalam memperoleh pengakuan hak-hak intelektual, khususnya mengenai hasil kebudayaan yang cenderung dimiliki secara berbagi oleh kedua buah negara. Sebaiknya, Malaysia lebih keras lagi--karena lebih kuat secara ekonomi--untuk menggali produk-produk kebudayaan yang khas Malaysia.
Dua negara yang punya banyak kemiripan ini sebenarnya bisa menjadi tetangga yang akrab. Jadi, kenapa tidak berusaha menjadi jiran yang baik? Tidak mudah memang. Namun, bisa diawali dengan tidak ada rasa curiga di sisi Indonesia. Cobalah masyarakat dan bangsa Indonesia beriktikad baik untuk mengenali jiran Malaysia dengan lebih baik karena dengan demikian akan tercipta pemahaman yang utuh. Di sisi lain, juga tidak boleh ada rasa mencemooh atau merendahkan di pihak Malaysia. Ingatlah, tidak ada yang lebih baik, dan lebih buruk di antara kedua negara. Secara ekonomi, Malaysia memang jauh lebih baik dari Indonesia saat ini. Namun, dari sisi kehidupan politik dan budaya, siapa yang bisa menutup mata terhadap kemajuan Indonesia di bidang ini? Bahkan, teman-teman dari Malaysia pasti akan setuju. Jadi, ada baiknya masyarakat Malaysia juga memulai iktikad baik dengan tidak memanggil jiran Indonesia dengan "Indon". Bukankah, para sahabat di Malaysia pun tidak ingin dipanggil dengan sebutan "Mal"--misalnya--dengan konotasi merendahkan? Nah, kenapa kita tidak merenungkan judul lagu yang sedang diperdebatkan ini: Rasa Sayange. Tak kenal, maka tak sayang.