Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Sunday, December 31, 2006

2006年の大みそか


今夜、一人だけでテレビで紅白という番組をずっと見てる時に、何か今年のまだやってない計画を思って、いろいろな考えをする。もちろん、足りないところがあちこちにたくさんあるよ。でも、私たちが人間だよ。長所とか短所と一人一人にありますよ。だから、今年の欠点を基にして、来年にまた頑張れ。

今年頑張ったことになった。来年も頑張りましょ。良いお年を。

Renungan Akhir Tahun 2006

Tak terasa tahun keenam di milenium ketiga sebentar lagi pupus. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ya, sampai tahun ini mimpi saya untuk melanjutkan studi lanjutan di luar negeri belum juga terwujud. Saya sering kasihan dengan anak dan istri saya yang harus mengikuti kemauan saya yang keras. Namun, saya berjanji kepada mereka bahwa perjalanan panjang ini pasti akan ada akhirnya. Satu saat, dari seratus perguruan yang saya datangi, pasti ada satu akan membukakan kesempatan lebar-lebar kepada saya. Dari sekian beasiswa atau pendanaan yang coba saya peroleh, pasti akan ada satu yang jatuh ke tangan. Saya percaya bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang sudah berusaha.

Jadi, istriku dan anakku, tolong sabar sebentar lagi ya. Sudah enam tahun memang kita mengarungi samudera pencarian ini, namun pasti suatu saat kita akan berlabuh juga. Percayalah.

Wednesday, December 27, 2006

Ambil saja yang perlu

Selama seminggu ditinggal istri ke Indonesia, saya lebih banyak ditemani televisi dan jadi sering menonton acara televisi. Ada beberapa hal menarik yang saya kira bisa kita pelajari dari orang Jepang seperti apa yang ditampilkan dalam acara televisi Jepang. Kali ini saya ingin menjelaskan mengapa judul tulisan ini adalah ambil saja yang perlu?

Secara kebetulan, dalam beberapa program televisi Jepang seminggu ini, sering dibahas perihal ikan. Mungkin karena orang Jepang suka makan ikan, tayangan mengenai ikan sebenarnya bukan hal yang aneh dan jarang. Namun, karena kesempatan melihat acara televisi hanya ada waktu liburan dan sendirian, saya baru bisa mengambil hikmah dari tayangan tersebut baru-baru ini saja. Dalam tiap tayangan, terutama ketika sedang melaut dan menangkap ikan, tidak semua ikan diambil oleh nelayan Jepang. Mereka hanya mengambil ikan yang memang biasa dan enak dimakan. Ketika di jaring mereka juga tertangkap ikan jenis lain, misalnya ikan hias, dengan segera mereka akan mengembalikannya ke laut.

Kesadaran itu tidak hanya dimiliki para nelayannya, tetapi juga anggota masyarakat Jepang yang lain. Ketika ada pembawa acara yang berkesempatan melaut dengan nelayan Thailand, mereka meminta agar Nelayan Thai melepaskan ikan clown atau ikan badut yang tertangkap jaring. Kata mereka, "Kita ambil saja yang perlu; yang tidak perlu kita kembalikan lagi." Betapa tingginya pemahaman lingkungan di dalam masyarakat Jepang sehingga mereka terbiasa mengambil hanya ikan yang dibutuhkan saja dan tidak mengotori lingkungan sekitarnya. Ibarat pepatah: mengambil ikan tetapi tidak membuat keruh airnya. Bayangkan saja, jika para nelayan Indonesia--juga nelayan Asia Tenggara lain--seperti itu, tentu akan masih banyak terumbu karang yang hidup di Indonesia. Tentu kerusakan lingkungan laut dan pantai kita tidak separah sekarang. Ternyata, masyarakat kita masih sebatas masyarakat simbolis. Lebih suka menggunakan dan mengotak-atik simbol-simbol daripada mewujudkannya dalam kerja nyata. Jadi, iklan layanan masyarakat bertema selamatkan terumbu karang kita pun hanya akan dimaknai sebagai simbol. Tidak lebih.

Saturday, December 23, 2006

Cara Memperingati Petang Natal di Jepang

Meskipun saya bukan penganut nasrani, Petang Natal atau Christmas Eve tentu saja sudah sering saya dengar sejak saya akrab dengan film-film Holywood, apalagi film cerita yang berlatar waktu Natal, seperti Home Alone atau Die Hard. Bagi penganut nasrani hampir di seluruh dunia, Petang Natal adalah hari yang suci, sehingga dibuatlah sebuah lagu Malam Kudus atau Silent Night yang ditulis dan digubah oleh Joshep Mohr dan Franz X. Guber pada 1818. Namun, agaknya lain makna Petang Natal bagi anak-anak muda Jepang. Sebagian pembaca blog ini tentu sudah tahu apa yang saya maksud karena hal ini sudah pernah dimuat dalam rubrik KOKI di Kompas Online.

Bagi anak-anak muda Jepang, Petang Natal adalah malam romantis. Pada malam itu, mereka akan berkencan dengan kekasih atau pasangan yang bukan kekasih mereka. Mereka berbusana yang agak berbeda, berjalan-jalan memutari taman yang ada hiasan pohon Natalnya, makan di restoran yang sudah dipesan sebelumnya--kadang-kadang menyerupai candle light dinner, dan ditutup dengan acara menginap di love hotel yang romantis. Semalam saya melihat program di televisi yang menunjukkan betapa acara penutup tadi sudah menjadi komoditi bisnis. Dalam acara tersebut, diberikan ranking love hotel yang bisa digunakan para remaja berkencan di Petang Natal. Ada semacam promosi khusus, bahkan diperlihatkan dengan jelas fasilitas, kamar dan semua isinya yang kemudian diakhiri dengan peragaan berkencan secara simbolis. Ada sebuah paket khusus bagi mereka yang mau melewatkan malam romantisnya di hotel tertentu. Jadi, kencan di hotel pada Petang Natal telah menjadi komoditi bisnis di Jepang. Enterpreneur Jepang benar-benar jeli dalam membidik sesuatu yang disukai oleh masyarakatnya. Betul-betul sudah berbeda sekali makna Petang Natal yang kudus. Namun, itulah Jepang, negeri yang haus dengan perayaan.

Friday, December 22, 2006

Hari Ibu

Hari ini 73 tahun silam di Yogyakarta diselenggarakan sebuah kongres yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu. Sebuah titik awal yang berbeda dengan Mother's Day dalam khazanah budaya Barat. Meskipun keduanya memperingati keberadaan Ibu, ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Jika Mother's Day beranjak dari wanita dalam lingkup domestik, Hari Ibu versi Indonesia lebih bermakna adanya pengakuan kesejajaran antara perempuan dan laki-laki. Jika Mother's Day sejatinya mematok perempuan dalam batas domestik, Hari Ibu justru ingin membongkar pagar yang selama ini mengerangkeng kaum perempuan.

Berkaitan dengan hari ibu, saya hari ini mencoba merenungkan keberadaan perempuan. Dalam hidup saya ada dua perempuan istimewa. Satu ibu saya dan kedua istri saya. Ibu saya adalah sosok yang sangat lengkap bagi saya. Ketika ayah saya meninggal pada usia 39 tahun, Ibu tetap memilih menjanda hingga sekarang meskipun ketika itu usia beliau 37 tahun dan masih menarik. Barangkali, kala itu belum ada mode mengambil janda sebagai istri kedua dan seterusnya seperti yang dimotori Aa Gym, lalu diekori oleh anggota dewan terhormat, A.M. Fatwa dan Syamsul Muarif. Seperti yang kirimkan dalam posting sebelumnya, panutan, Ibu saya lebih memilih untuk membesarkan anak-anaknya.

Istri adalah orang istimewa bagi saya. Saya kenal dia di kampus sekitar 16 tahun silam. Meskipun sempat tertatih-tatih dalam perjalanan hubungan kami, hubungan kami makin menguat ketika memutuskan untuk menjadi suami istri. Dia menjadi kekuatan saya. Dia adalah istri yang lengkap bagi saya. Ya, ibu dari anak saya, tetapi juga kekasih saya. Teman atau sahabat saya, tetapi juga sekaligus pengeritik saya. Tanpa kehadirannya di sisi saya, mustahil saya bisa mencapai posisi seperti sekarang ini. Jadi, kedua perempuan ini begitu istimewa di mata saya. Untuk itu, di hari ibu kali ini--bahkan mungkin tahun depan dan tahun depannya lagi, saya akan menjadikan keduanya topik dalam peringatan hari ibu di blog ini.

Thursday, December 14, 2006

Once upon a time in Jakarta:
Sekitar Sunter dan Kelapa Gading (2)

Semua orang tentu punya kenangan tertentu terhadap kota tempat tinggalnya. Begitu juga dengan saya. Jakarta menjadi salah satu dari beberapa kota yang menorehkan sepenggal kisah bagi saya. Ya, di kota inilah saya tumbuh dari usia anak-anak, remaja, sampai akhirnya dewasa. Di kota ini pula saya mempunyai kenangan manis tentang masa-masa remaja, cinta monyet, dan masa-masa pancaroba menjelang dewasa sampai akhirnya mendapatkan jodoh. Saya akan kisahkan secara bersambung di bawah cerita berjudul "Once upon a time in Jakarta".

Ketika melihat kawasan sekitar Bulevar Barat Kelapa Gading, saya nyaris tak percaya; apalagi kalau mengingat sekitar dua puluh tahun silam. Di tempat itu, mulai dari ujung utara kompleks kami, Kompleks TNI-AL Sunter, sampai ke batas kompleks Pertamina Plumpang, terbentang luas sawah. Kami sering menggunakan sawah itu sebagai ajang bermain. Mulai dari memancing, jalan-jalan di jalan setapak, sampai naik kerbau. Semuanya memberikan kenangan termanis dalam hidup saya, bahwa di Jakarta yang kala itu pun sudah menjadi kota metropolitan masih ada tempat untuk berkubang bersama kerbau.

Sekarang di Bulevar Barat Kelapa Gading yang seingat saya dibuka pertama kali sekitar tahun 1987 telah berdiri pertokoan dan apartemen megah. Dulu kawasan itu sangat gersang dan sepi. Hanya ada tanah-tanah kosong gersang, apalagi sejak krisis ekonomi mengempas Indonesia pada tahun 1997. Saya pikir dalam lima tahun lagi ketika perekonomian Indonesia sudah menjadi lebih baik lagi, Bulevar Barat Kelapa Gading akan menjadi kawasan yang lebih ramai daripada bulevar lain yang ada di Kelapa Gading. Saya kira.

Friday, December 08, 2006

Panutan

Diawali dengan sebuah konferensi pers, sebuah hujan hujatan pun tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah masyarakat. Sebuah polemik berkepanjangan pun seperti air bah memapar kita pada hari-hari belakangan ini. Nyaris semua blog, milis, dan obrolan di warung kopi pun tidak lepas dari topik yang melibatkan dua komponen ini: Abdullah Gymnastiar dan Poligami. Saya tidak akan ikut-ikutan berpolemik berkepanjangan dalam kasus ini karena posisi saya sudah jelas: sedapat mungkin menghindari poligami. Namun, saya ingin membahas satu hal yang barangkali justru kurang disoroti dalam kasus ini, yakni panutan.

Dalam kasus Aa Gym ini saya melihat bahwa masyarakat Indonesia yang sejatinya masih merupakan masyarakat agraris memang membutuhkan sebuah panutan atau teladan untuk dijadikan pengisi kekosongan terhadap bentuk ideal dari apa yang tidak mereka miliki. Sebenarnya, hampir semua orang di dunia ini, tidak hanya bangsa Indonesia yang agraris, secara psikologis mempunyai harapan akan sesuatu yang ideal. Hanya karena bangsa Indonesia masih merupakan masyarakat agraris, hal tersebut tampak lebih kuat. Nah, semua syarat ideal masyarakat Indonesia itu kemudian dijumpai pada diri seorang K.H. Abdullah Gymnastiar. Sebagai tokoh yang dipanuti, kemudian Aa Gym menjadi seorang tokoh yang tidak lagi profan dan manusiawi. Tidak profan dan manusiawi karena dianggap tidak dapat memiliki kesalahan seperti yang dilakukan manusia lain. Sakral.

Dari peristiwa hujatan terhadap tokoh yang mula-mula dianggap sakral ini, kita dapat memetik dua hal. Pertama, kita lupa bahwa Aa Gym tidak lebih adalah manusia biasa yang bukan saja tidak mampu menanggung beban berat sebagai panutan, melainkan juga bisa saja tergelincir ke persoalan duniawi. Jadi, Aa Gym juga manusia. Begitu menurut lirik lagu terkenal milik grup band Seurieus. Kedua, masyarakat Indonesia sebenarnya membutuhkan seorang panutan atau pemimpin yang baik. Mereka merindukan sosok yang betul-betul dianggap dapat melindungi mereka. Makanya, kita bisa mengerti mengapa tiba-tiba saja ada orang-orang--yang dulu ikut bertepuk tangan ketika bulan Mei 1998--kini merindukan kembalinya sosok Soeharto. Ya, memang hujatan dan panutan itu bisa berubah-ubah seperti kita pindah dari satu kamar ke kamar lainnya. Berkat kemajuan teknologi media saat ini, seseorang bisa dijunjung secepat roket menjadi panutan, dan semudah itu pula dicampakkan menjadi tidak lebih daripada sampah. Dunia media memang sebenarnya dunia yang sublim. Hanya informasi terpilih saja yang dipaparkan, sementara informasi lain pun diletakkan pada posisi marjinal. Jadi, ini peringatan baik bagi mereka yang menjadi panutan, maupun yang mempunyai panutan.

Sunday, December 03, 2006

SEPET: Sebuah Film Menarik dari Aspek Linguistik

Kalau tidak karena saya mengajarkan film Asia Tenggara di kampus saya, pasti masih akan lama tiba masanya bagi saya melihat film Malaysia kembali. Bagi saya, film Malaysia masih berkisar pada film-film legendaris Seniman Negara Tengku P. Ramlee era tahun 1960-1970-an. Namun, zaman ternyata kini telah banyak berubah. Sebagaimana masyarakat Malaysia, film Malaysia pun banyak mengalami perubahan.

Ada banyak film Malaysia yang mampu merenggut perhatian kita. Salah satunya adalah film berjudul Sepet (2004). Film besutan sutradara muda Malaysia, Yasmin Ahmad, ini memenangi penghargaan kategori film terbaik dalam Festival Film Malaysia 2005. Selain itu, film ini juga menggondol penghargaan film terbaik dalam The Crerteil International Festival of Women's Film di Perancis tahun 2005.

Film ini berkisah tentang seorang gadis Melayu, Orked (Sharifah Amani), yang saling jatuh hati dalam pandangan pertama dengan seorang pemuda keturunan Cina, Ah Loon (Ng Choo Seong). Betapa sulitnya perjuangan mereka untuk bersatu karena hambatan sosial yang ada di antara mereka. Bagi yang paham situasi Malaysia sebenarnya, segera bisa terlihat adanya unsur ketegangan etnis di Malaysia yang coba ditampilkan oleh film ini. Ketegangan bernuansa etnis itu memang tidak nampak di permukaan, namun berakar kuat di dalam masyarakat.

Kekuatan film ini, menurut saya, terletak kepada kepiawaian dalam memotret hal-hal keseharian di dalam masyarakat Malaysia. Hal itu tidak hanya ketidakharmonisan yang terselubung di antara etnis utama di Malaysia, tetapi juga bagaimana secara linguistis, masyarakat Malaysia--terutama yang tinggal Malaysia Barat dan di kota-kota besar--berkomunikasi menggunakan dua atau tiga bahasa secara silih berganti. Bagaimana gaya berkomunikasi sehari-hari anak muda Malaysia betul-betul tampak dalam film itu. Ada tiga bahasa yang digunakan sekaligus dalam film itu: Melayu, Inggris, dan juga Kanton. Jadi, film Sepet adalah sebuah film yang nyaris sempurna menggambarkan kondisi masyarakat Malaysia yang sebenarnya. Oleh karena itu, film ini juga bisa menjadi kajian linguistik bagi mereka yang tertarik dengan situasi bahasa di Malaysia karena begitu kompleksnya bahasa yang digunakan dalam film ini.