Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Friday, December 08, 2006

Panutan

Diawali dengan sebuah konferensi pers, sebuah hujan hujatan pun tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah masyarakat. Sebuah polemik berkepanjangan pun seperti air bah memapar kita pada hari-hari belakangan ini. Nyaris semua blog, milis, dan obrolan di warung kopi pun tidak lepas dari topik yang melibatkan dua komponen ini: Abdullah Gymnastiar dan Poligami. Saya tidak akan ikut-ikutan berpolemik berkepanjangan dalam kasus ini karena posisi saya sudah jelas: sedapat mungkin menghindari poligami. Namun, saya ingin membahas satu hal yang barangkali justru kurang disoroti dalam kasus ini, yakni panutan.

Dalam kasus Aa Gym ini saya melihat bahwa masyarakat Indonesia yang sejatinya masih merupakan masyarakat agraris memang membutuhkan sebuah panutan atau teladan untuk dijadikan pengisi kekosongan terhadap bentuk ideal dari apa yang tidak mereka miliki. Sebenarnya, hampir semua orang di dunia ini, tidak hanya bangsa Indonesia yang agraris, secara psikologis mempunyai harapan akan sesuatu yang ideal. Hanya karena bangsa Indonesia masih merupakan masyarakat agraris, hal tersebut tampak lebih kuat. Nah, semua syarat ideal masyarakat Indonesia itu kemudian dijumpai pada diri seorang K.H. Abdullah Gymnastiar. Sebagai tokoh yang dipanuti, kemudian Aa Gym menjadi seorang tokoh yang tidak lagi profan dan manusiawi. Tidak profan dan manusiawi karena dianggap tidak dapat memiliki kesalahan seperti yang dilakukan manusia lain. Sakral.

Dari peristiwa hujatan terhadap tokoh yang mula-mula dianggap sakral ini, kita dapat memetik dua hal. Pertama, kita lupa bahwa Aa Gym tidak lebih adalah manusia biasa yang bukan saja tidak mampu menanggung beban berat sebagai panutan, melainkan juga bisa saja tergelincir ke persoalan duniawi. Jadi, Aa Gym juga manusia. Begitu menurut lirik lagu terkenal milik grup band Seurieus. Kedua, masyarakat Indonesia sebenarnya membutuhkan seorang panutan atau pemimpin yang baik. Mereka merindukan sosok yang betul-betul dianggap dapat melindungi mereka. Makanya, kita bisa mengerti mengapa tiba-tiba saja ada orang-orang--yang dulu ikut bertepuk tangan ketika bulan Mei 1998--kini merindukan kembalinya sosok Soeharto. Ya, memang hujatan dan panutan itu bisa berubah-ubah seperti kita pindah dari satu kamar ke kamar lainnya. Berkat kemajuan teknologi media saat ini, seseorang bisa dijunjung secepat roket menjadi panutan, dan semudah itu pula dicampakkan menjadi tidak lebih daripada sampah. Dunia media memang sebenarnya dunia yang sublim. Hanya informasi terpilih saja yang dipaparkan, sementara informasi lain pun diletakkan pada posisi marjinal. Jadi, ini peringatan baik bagi mereka yang menjadi panutan, maupun yang mempunyai panutan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home