Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Saturday, November 25, 2006

Opera Jawa:
Eksperimen Berikutnya
dari Garin Nugroho

Tanpa diduga, berkat kebaikan hati Ibu Sasaki Nobuko, pemilik blog gado-gado exblog dan pemerhati masalah keindonesiaan, saya berkesempatan menonton sebuah film eksperimental kolosal yang dibuat oleh Garin Nugroho. Film besar karya Garin ini dipertunjukkan sebagai salah satu film dalam Tokyo Filmex ke-7 di Asahi Hall, Yurakucho, Tokyo pada 24 November lalu. Film yang merupakan produksi bersama Austria-Indonesia ini dibuat dalam rangka memperingati 250 tahun Wolfgang Amadeus Mozart. Film yang diedarkan oleh Pyramide Films ini didanai oleh New Crowned Hope Festival Vienna 2006, Goteborg Film Festival Fund, dan Hubert Bals Fund of The International Film Festival Rotterdam.

Film dibuka dengan sebuah adegan yang tidak biasa untuk film Indonesia. Siti (Artika Sari Devi) dan Setyo (Martinus Miroto)--dua tokoh yang merefleksikan Sinta dan Rama--melakukan prosesi dengan menggunakan hati babi yang dipimpin oleh seorang dukun Sumba. Diselingi dengan tembang, atau lebih cocok nyanyian, dari Slamet Gundono yang dikenal dengan komunitas wayang suket dan wayang airnya. Scene kemudian beralih kepada Siti yang dikejar-kejar oleh bayangan binatang surealis yang secara teatrikal dimainkan dan ditata secara apik oleh sekelompok seniman tari kawakan Indonesia.

Scene demi scene di dalam film mengalir begitu saja seperti air sungai kecil yang menuju ke sungai besar. Banyaknya seniman pendukung dalam film Opera Jawa ini memang menunjukkan sebuah ambisi besar yang melatari produksi film ini. Seperti yang diakui oleh sang sutradara, cukup sulit menggabungkan semua seniman besar yang mempunyai warna yang berbeda menjadi sebuah komposisi yang indah. Garin mengibaratkannya dengan merangkai bunga. Ya, film ini memang tampak seperti menjadi sebuah kompilasi dari pelbagai seni adiluhung Indonesia, terutama yang ada di Jawa.

Apa yang Anda pikirkan jika melihat film berhiaskan tembang macapatan, dolanan, dandhang gula dan lain-lain yang kesemuanya nyaris dibawakan dalam bahasa aslinya, bahasa Jawa? Apa yang Anda pikirkan jika melihat gerak dalam film berupa tarian yang meliak-liuk penuh keindahan? Lalu, apa yang Anda pikirkan jika mendengar musik film berupa alunan gamelan Jawa--sesekali elemen bunyi dari alat musik tradisional lain? Saya pikir ada satu kemungkinan. Anda akan berdecak kagum dan menyadari bahwa belum pernah melihat film seperti itu sebelumnya. Karya ini memang sebuah eksperimen Garin yang terus terang mungkin cukup sulit menembus pasar, namun cukup mampu memberi sesuatu yang lain bagi penontonnya.

Film Opera Jawa ini mengisahkan Siti dan Setyo, suami istri yang dulunya penari wayang orang. Siti memerankan Sinta, sedangkan Setyo memerankan Rama. Untuk membiayai kehidupan mereka, Setyo membuka usaha dan berjualan gerabah. Meskipun tidak banyak, penghasilannya cukup untuk menafkahi kehidupan mereka. Diam-diam, Ludira (Eko Prasetyo), seorang jagal sapi dan sekaligus anak seorang juragan busana batik--Kesi (Retno Maruti), menaksir Siti yang memang cantik. Ludira yang mencerminkan angkara murka atau Rahwana dengan pelbagai tipu-dayanya berusaha menggoda Siti untuk berselingkuh. Siti yang belakangan sering tidak diperhatikan oleh Setyo mulai tergoda. Ludira berhasil menawan raga Siti, namun tidak hatinya. Setyo yang menyadari hal itu lalu merebut lagi istrinya. Namun, Setyo pun gagal memahami hati istrinya yang sebenarnya tetap setia mencintai dirinya. Dia membunuh Ludira dan Siti dengan kejam. Ya, film ini memang berakhir tragis karena dimaksudkan sebagai requiem atas kematian tragis yang terlalu sering terjadi pada abad-abad ini. Garin memang ingin menyampaikan pesan bahwa betapa konflik yang merenggut jiwa di seluruh muka bumi saat ini sebenarnya berasal dari ketidakpahaman terhadap isi hati.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home