Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Thursday, November 30, 2006

Once upon a time in Jakarta:
Sekitar Sunter dan Kelapa Gading (1)

Semua orang tentu punya kenangan tertentu terhadap kota tempat tinggalnya. Begitu juga dengan saya. Jakarta menjadi salah satu dari beberapa kota yang menorehkan sepenggal kisah bagi saya. Ya, di kota inilah saya tumbuh dari usia anak-anak, remaja, sampai akhirnya dewasa. Di kota ini pula saya mempunyai kenangan manis tentang masa-masa remaja, cinta monyet, dan masa-masa pancaroba menjelang dewasa sampai akhirnya mendapatkan jodoh. Saya akan kisahkan secara bersambung di bawah cerita berjudul "Once upon a time in Jakarta".

Sekitar bulan November 1982, saya dan keluarga saya pindah dari rumah di Pondok Bambu, Jakarta Timur ke wilayah Sunter atau kemudian dikenal dengan nama Kelapa Gading Barat. Berat rasanya meninggalkan wilayah Pondok Bambu, Jakarta Timur yang rindang dan nyaman menuju ke Sunter yang kala itu gersang. Begitu mendengar nama Sunter, kala itu siapa pun akan ingat sulitnya air bersih karena entrusi air laut sejak lama telah merembes ke wilayah sana.

Kala itu, Kompleks TNI-AL Sunter tempat saya tinggal hanya saling membelakangi dengan perumahan elite Kelapa Gading Permai. Belum ada jalan tembus seperti Bulevar Gading Barat yang ada sekarang. Kelapa Gading pun belum seramai dan seluas sekarang. Cikal bakal Kelapa Gading Mal pun masih berupa pertokoan biasa dengan swalayan Diamond sebagai "nyawa"-nya. Sampai sekitar pertengahan tahun 1980-an, hal itu belum berubah.

Kala itu sudah ada bus tingkat PPD 43A yang melayani rute Tanjung Priok-Cililitan. Untuk mereka yang ingin bepergian ke Kampung Melayu, ada bus PPD 68. Saya termasuk sering menggunakan jasa angkutan bis ini pada waktu masih duduk di bangku SMP. Jika sebelumnya surga belanja keluarga kami adalah Pasar Jatinegara, sekarang beralih ke Pasar Senen atau Pasar Baru. Ya, kami memilihnya karena dari segi lokasi, kedua pasar itu lebih dekat. Kadang-kadang, kalau tidak terlalu penting untuk berbelanja ke Pasar Senen, kami cukup pergi ke Pasar Cempaka Putih. Ada swalayan Suzana di sana. Juga ada pasar tradisional cukup besar. Untuk menuju ke sana, kami biasa menggunakan Mikrolet P07 atau PPD 63. Nah, bagi yang ingin pergi ke Pulogadung, PT Mayasari Bhakti menyediakan dua jalur, yakni rute 51 dan 50. Mayasari 51 lewat Jalan Perintis Kemerdekaan, sementara Mayasari 50 lewat Jalan Pemuda, Rawamangun.

Dekat perempatan Coca-Cola--karena dulu ada pabrik Coca-Cola di sana--ada tempat pembuangan sampah akhir Jakarta yang sekarang disulap jadi tempat bisnis dan perdagangan terkemuka di Jakarta: Cempaka Mas. Jauh sebelum ada jalan tol layang Cawang-Tanjung Priok yang dibangun tahun 1990-an, sudah berdiri tegak kantor pusat PT Gudang Garam tidak jauh dari perempatan itu. Saya dulu sering memanfaatkan jam digital besar di atapnya sebagai petunjuk waktu.

Monday, November 27, 2006

願書

今週は19年度の大学院の出願期間なんですけれど、これから大学院入学試験が頑張ります。実は僕は日本語が足りなくて日本大学へ入学するのは自信がない。いろんな問題あるのに日本大学へ行きたいだろうって思った。最近は願書が出したので、試験頑張ります。

Mimpi Sehari

Hari ini, 27 November 2006, saya seperti mimpi. Ya, bagaimana tidak bermimpi? Saya berada di sebuah ruangan di Gedung Toshokan Keio yang sempit duduk berhadap-hadapan dengan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih-lebih, di ruangan itu saya termasuk satu-satunya orang Indonesia dalam kelompok yang berperan sebagai pihak yang akan menganugerahi Pak Presiden Gelar Doktor Kehormatan dalam Bidang Media dan Kepemerintahan. Orang Indonesia lainnya di ruangan itu adalah Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian, Bapak dan Ibu Jusuf Anwar, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang, dan dua orang ajudan presiden.


Ketika Kojima Tomoyuki, Dekan Fakultas Manajemen Kebijakan, memperkenalkan satu per satu faculty member di Keio yang hadir bersamanya, termasuk saya, saya perhatikan sorot mata Pak Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono yang teduh memperhatikan saya secara tajam sambil mengangguk-angguk, kemudian tersenyum. Saya pasti bermimpi. Namun, ketika jari telunjuk saya gigit, di bekas gigitan keluar sedikit darah segar.

Saturday, November 25, 2006

Opera Jawa:
Eksperimen Berikutnya
dari Garin Nugroho

Tanpa diduga, berkat kebaikan hati Ibu Sasaki Nobuko, pemilik blog gado-gado exblog dan pemerhati masalah keindonesiaan, saya berkesempatan menonton sebuah film eksperimental kolosal yang dibuat oleh Garin Nugroho. Film besar karya Garin ini dipertunjukkan sebagai salah satu film dalam Tokyo Filmex ke-7 di Asahi Hall, Yurakucho, Tokyo pada 24 November lalu. Film yang merupakan produksi bersama Austria-Indonesia ini dibuat dalam rangka memperingati 250 tahun Wolfgang Amadeus Mozart. Film yang diedarkan oleh Pyramide Films ini didanai oleh New Crowned Hope Festival Vienna 2006, Goteborg Film Festival Fund, dan Hubert Bals Fund of The International Film Festival Rotterdam.

Film dibuka dengan sebuah adegan yang tidak biasa untuk film Indonesia. Siti (Artika Sari Devi) dan Setyo (Martinus Miroto)--dua tokoh yang merefleksikan Sinta dan Rama--melakukan prosesi dengan menggunakan hati babi yang dipimpin oleh seorang dukun Sumba. Diselingi dengan tembang, atau lebih cocok nyanyian, dari Slamet Gundono yang dikenal dengan komunitas wayang suket dan wayang airnya. Scene kemudian beralih kepada Siti yang dikejar-kejar oleh bayangan binatang surealis yang secara teatrikal dimainkan dan ditata secara apik oleh sekelompok seniman tari kawakan Indonesia.

Scene demi scene di dalam film mengalir begitu saja seperti air sungai kecil yang menuju ke sungai besar. Banyaknya seniman pendukung dalam film Opera Jawa ini memang menunjukkan sebuah ambisi besar yang melatari produksi film ini. Seperti yang diakui oleh sang sutradara, cukup sulit menggabungkan semua seniman besar yang mempunyai warna yang berbeda menjadi sebuah komposisi yang indah. Garin mengibaratkannya dengan merangkai bunga. Ya, film ini memang tampak seperti menjadi sebuah kompilasi dari pelbagai seni adiluhung Indonesia, terutama yang ada di Jawa.

Apa yang Anda pikirkan jika melihat film berhiaskan tembang macapatan, dolanan, dandhang gula dan lain-lain yang kesemuanya nyaris dibawakan dalam bahasa aslinya, bahasa Jawa? Apa yang Anda pikirkan jika melihat gerak dalam film berupa tarian yang meliak-liuk penuh keindahan? Lalu, apa yang Anda pikirkan jika mendengar musik film berupa alunan gamelan Jawa--sesekali elemen bunyi dari alat musik tradisional lain? Saya pikir ada satu kemungkinan. Anda akan berdecak kagum dan menyadari bahwa belum pernah melihat film seperti itu sebelumnya. Karya ini memang sebuah eksperimen Garin yang terus terang mungkin cukup sulit menembus pasar, namun cukup mampu memberi sesuatu yang lain bagi penontonnya.

Film Opera Jawa ini mengisahkan Siti dan Setyo, suami istri yang dulunya penari wayang orang. Siti memerankan Sinta, sedangkan Setyo memerankan Rama. Untuk membiayai kehidupan mereka, Setyo membuka usaha dan berjualan gerabah. Meskipun tidak banyak, penghasilannya cukup untuk menafkahi kehidupan mereka. Diam-diam, Ludira (Eko Prasetyo), seorang jagal sapi dan sekaligus anak seorang juragan busana batik--Kesi (Retno Maruti), menaksir Siti yang memang cantik. Ludira yang mencerminkan angkara murka atau Rahwana dengan pelbagai tipu-dayanya berusaha menggoda Siti untuk berselingkuh. Siti yang belakangan sering tidak diperhatikan oleh Setyo mulai tergoda. Ludira berhasil menawan raga Siti, namun tidak hatinya. Setyo yang menyadari hal itu lalu merebut lagi istrinya. Namun, Setyo pun gagal memahami hati istrinya yang sebenarnya tetap setia mencintai dirinya. Dia membunuh Ludira dan Siti dengan kejam. Ya, film ini memang berakhir tragis karena dimaksudkan sebagai requiem atas kematian tragis yang terlalu sering terjadi pada abad-abad ini. Garin memang ingin menyampaikan pesan bahwa betapa konflik yang merenggut jiwa di seluruh muka bumi saat ini sebenarnya berasal dari ketidakpahaman terhadap isi hati.

Thursday, November 23, 2006

Once upon a time in Jakarta:
Jatinegara

Semua orang tentu punya kenangan tertentu terhadap kota tempat tinggalnya. Begitu juga dengan saya. Jakarta menjadi salah satu dari beberapa kota yang menorehkan sepenggal kisah bagi saya. Ya, di kota inilah saya tumbuh dari usia anak-anak, remaja, sampai akhirnya dewasa. Di kota ini pula saya mempunyai kenangan manis tentang masa-masa remaja, cinta monyet, dan masa-masa pancaroba menjelang dewasa sampai akhirnya mendapatkan jodoh. Saya akan kisahkan secara bersambung di bawah cerita berjudul "Once upon a time in Jakarta".

Nyaris seluruh usia remaja saya habiskan di wilayah Jakarta Timur. Meskipun ketika saya berumur 13 tahun saya pindah ke Kelapa Gading, Jakarta Utara, kegiatan sekolah saya tetap berada di wilayah kota ini. Jadi, bagi saya Jakarta Timur menjadi bagian yang tidak lepas dari sejarah hidup saya. Di tempat ini pulalah saya menemukan pelabuhan hati saya.

Sebagai orang yang tinggal di Jakarta Timur, menjelajahi kota Jatinegara tentu saja bukanlah hal asing bagi saya. Jatinegara yang dulu bernama Mesteer Cornelis ini sebelumnya merupakan lokasi bagi kantor walikota. Jadi, saya otomatis menganggap bahwa Jatinegara menjadi semacam ibukota bagi Jakarta Timur, meskipun konsep "ibukota" untuk wilayah seluas kotamadya sebenarnya agak sulit diterapkan. Oleh karena itu, saya sering menggunakan indikator lokasi kantor walikota atau bupati.

Dahulu saya mengenal Jatinegara sebagai tempat tujuan belanja para kawula Jakarta Timur. Ya, tahun 1980-an belum ada mal besar, ITC, town-square, atau junction tersebar di seluruh wilayah Jakarta seperti sekarang ini. Jadi, hampir dipastikan orang-orang seperti saya dan keluarga yang tinggal di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi akan pergi ke Jatinegara untuk berbelanja apa saja. Mulai dari sepeda, baju, sepatu, sampai buku-buku. Hampir semua orang yang tinggal di Kecamatan Jatinegara kala itu--yang wilayahnya amat luas meliputi beberapa kecamatan saat ini--pasti kenal dengan nama toko-toko seperti toko sepatu Well-Well atau Dod-Well, toko buku Sekawan atau toko buku Prapatan, kemudian toko seragam sekolah, pramuka, atau alat perlengkapan shalat Bulan Bintang di dekat Pasar Jatinegara. Bagi kami, berjalan-jalan di sekitar pertokoan PJKA di dekat Stasiun Jatinegara sudah merupakan rekreasi tersendiri kala itu.

Bagi mereka yang kurang mampu, sekitar lapangan Jenderal Oeriep Sumohardjo--sekarang di depan Hotel Alia Matraman--menjadi tumpuan karena di tempat itu banyak dijual barang loakan. Mulai dari sepatu, sandal, dan lain-lain. Di sekitar depan Pasar Jatinegara, sejak awal 1980-an memang juga sudah banyak pedagang kaki lima dengan logat Minangnya. Ya, mungkin orang-orang dari wilayah sana memang ulet dalam bekerja. Biasanya di sana dijual kaos seribu tiga atau Rp1000 untuk tiga kaos. Kala itu, kurs 1 dollar adalah sekitar 500 rupiah. Jadi, Rp1000 kala itu nyaris setara dengan Rp20.000 waktu sekarang.

Suasana sekitar Pasar Jatinegara memang tidak banyak berubah hingga sekarang, malah tambah ruwet. Terutama lalu lintas. Jika dahulu hanya ada beberapa puluh oplet berseliweran, kini ratusan bahkan ribuan mikrolet mulai dari seri MO1--misalnya M01, M01A, M01B--sampai M36 semuanya lewat depan pasar Jatinegara. Belum lagi akan ditambah busway dalam waktu tidak lama lagi. Bisa dibayangkan bagaimana ruwet situasi sepotong jalan yang melintasi depan Pasar Jatinegara itu?

Sekitar tahun 1980-an, masih banyak ditemukan omprengan atau mobil pick up dengan tutup terpal dan bangku seadanya yang memanjang di tiap sisi bak. Omprengan semacam itu melayani trayek Jatinegara-Pulo Gadung meskipun trayek itu pun dilayani oleh Mayasari Bhakti rute 56. Banyak di antara omprengan itu yang juga berplat hitam. Salah satunya adalah milik teman saya. Sebagai sambilan mencari uang tambahan sekolah, teman saya sering menyupiri omprengan milik ayahnya, seorang bintara TNI-AD yang tinggal di kompleks bengkel milik TNI-AD di Kebon Pala, belakang bioskop Nusantara. Saya pernah menjadi keneknya untuk beberapa rit. Namun, sekitar penghujung 1980-an atau awal tahun 1990-an, omprengan hilang dan digantikan oleh mikrolet M27.

Ketika mendiang ayah saya masih ada, kami sering sekali makan masakan Cina di dekat lapangan Jenderal Oeriep. Kira-kira terletak setelah Jembatan KA Matraman dan sebelum Gereja Koinonia. Mungkin lokasi tepatnya adalah di ujung jalan komplek perwira TNI-AD Jenderal Oeriep. Saya cukup menggemari masakan di sana, terutama masakan ayamnya seperti ayam kecap, ayam nanking, atau ayam kuluyuk. Rasanya ... yummy. Sayangnya, sejak ayah meninggal, kami tidak pernah lagi ke sana, dan sekarang tidak tahu apakah masih ada atau tidak restoran sederhana, tapi enak itu.

Friday, November 17, 2006

Once upon a time in Jakarta:
Sekitar Mabes TNI-AL Gunung Sahari

Semua orang tentu punya kenangan tertentu terhadap kota tempat tinggalnya. Begitu juga dengan saya. Jakarta menjadi salah satu dari beberapa kota yang menorehkan sepenggal kisah bagi saya. Ya, di kota inilah saya tumbuh dari usia anak-anak, remaja, sampai akhirnya dewasa. Di kota ini pula saya mempunyai kenangan manis tentang masa-masa remaja, cinta monyet, dan masa-masa pancaroba menjelang dewasa sampai akhirnya mendapatkan jodoh. Saya akan kisahkan secara bersambung di bawah cerita berjudul "Once upon a time in Jakarta".

Saya pindah ke Jakarta bersama keluarga pada penghujung tahun 1970-an. Karena saya berasal dari keluarga militer, pindah tempat tinggal dan pindah sekolah bukanlah hal yang asing bagi saya. Setelah mengembara ke beberapa pelosok nusantara, akhirnya ayah saya ditempatkan di Jakarta sebagai perwira menengah di Markas Besar TNI-AL, Jakarta. Kala itu, Mabes TNI-AL menempati lahan seluas beberapa hektar di Bungur, Jalan Gunung Sahari. Sekarang pun kelihatannya masih ada beberapa kantor TNI-AL di sana, salah satunya adalah Markas Polisi Militer AL. Namun, markas besarnya sendiri sudah pindah ke Cilangkap pada awal tahun 1980-an.

Waktu itu, belum ada mikrolet biru telor asin M12 Jurusan Senen-Kota berseliweran di depan Markas Besar TNI-AL. Seingat saya kala itu masih banyak opelet. Yang paling saya ingat adalah bus Pelita Mas Jaya jurusan Cilitan-Lapangan Banteng berwarna biru gelap yang lewat Jalan Gunung Sahari dan Pasar Senen. Ya, berbagai perusahaan bus swasta tempo doeloe semacam Saudaranta, Ajiwirya, Pelita Mas Jaya, Djakarta Transport, Medal Sekarwangi, Gamadi, SMS, dan Merantama memang masih berseliweran di Jakarta sampai akhirnya habis diakuisisi oleh pemerintah dan menjadi UNIT I, III, V, VIII, A, B, dan C di bawah manajemen PPD. Ya, yang masih bertahan sampai sekarang adalah Mayasari Bhakti, bus kota yang dahulu berwarna khas hijau pupus. Jika ingin tahu lebih lanjut hal ihwal tentang perusahaan otobis ini silakan klik situs 80-an

Meskipun karier ayah saya cukup bagus--ketika itu akan diangkat menjadi panitia pembelian dua kapal selam terbaru KRI Cakra dan KRI Nenggala dan akan bertugas di Belanda selama beberapa tahun--kelihatannya tradisi eksodus keluarga saya terhenti di Jakarta. Pertengahan tahun 1980, Sang Khalik memanggil ayah tercinta ketika beliau mengikuti pendidikan sehubungan dengan rencana keberangkatan ke Belanda. Mulai dari sini, kisah hidup saya penuh dengan perjuangan. Kadang-kadang pahit, kadang-kadang manis.