Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Saturday, April 28, 2007

Sepucuk Surat dari Pulau Tandus

Sebenarnya saya termasuk ketinggalan zaman karena baru melihat film Letter from Iwojima semalam ini. Namun, entah kenapa, saya merasa harus menuliskan kesan saya terhadap film ini. Terus terang, baru kali ini saya melihat film perang Jepang yang dibuat oleh pihak Jepang. Selama ini, kalau tidak dibuat oleh Hollywood, misalnya Pearl Harbor, saya menonton film buatan Indonesia, misalnya Budak Nafsu.

Film ini menceritakan sisi pertahanan tentara kekaisaran Jepang yang mulai terdesak oleh kekuatan Amerika Serikat dan sekutunya. Jika dalam film perang yang saya lihat selama ini, pihak Jepang selalu digambarkan sebagai pihak yang selalu bengis, pemerkosa, dan tidak bisa berbahasa Inggris, dalam film ini digambarkan bahwa mereka juga manusia biasa yang takut, punya keluarga, dan tidak semuanya gila perang. Prajurit Saigo, misalnya, adalah seorang pembuat kue yang terpaksa meninggalkan istrinya yang sedang hamil karena dijemput oleh kempetai untuk berangkat ke medan perang. Lalu, ada juga, prajurit Shimizu yang dikeluarkan dari kempeitai karena tidak bisa bersikap bengis dan tanpa perasaan seperti layaknya anggota kempeitai lainnya. Shimizu dikirimkan ke Iwojima untuk menggantikan prajurit Jepang yang tewas akibat disentri. Adapula Letnan Kolonel Baron Takeichi Nishi, peraih medali emas berkuda, yang bisa berbahasa Inggris dan lebih rela menggunakan persediaan obatnya untuk menolong lawannya, seorang prajurit Amerika. Lalu, tokoh sentralnya adalah Letnan Jenderal Tadamichi Kurabayashi, seorang jenderal yang tahu strategi perang, tetapi sekaligus punya hati.

Film ini jauh sekali dari pengambaran kekejaman tentara Jepang yang total dan selalu digambarkan selama ini. Ya, meskipun ada juga tentara Jepang yang maniak perang, kejam, dan gila, tentara Jepang pada dasarnya juga manusia. Ada rasa takut, rasa rindu keluarga, dan rasa cinta kepada sesama. Barangkali kesimpulan saya saat ini adalah seharusnya di pundak para pemimpin militernya yang gila peranglah kesalahan kita arahkan. Merekalah yang menyebabkan Jepang harus mengalami kegelapan dalam sejarahnya.

Saturday, April 21, 2007

HP Berkamera Video

Di sela-sela gegap gempitanya berita tentang Virginia Tech Massacre dan sepinya perhatian terhadap jatuhnya korban jiwa di Irak yang terus berjatuhan nyaris tiap minggu, terdapat sebuah berita menyeruak dari Blitar, Jawa Timur. Seorang anak SMP beradegan syur yang direkam dalam HP dan kini rekamannya menyebar luas di wilayah Jawa Timur. Dapat dipastikan bahwa polisi, pers, dan masyarakat akan dengan mudah mencokok si pemeran adegan, sementara si pelaku penyebarluasan tetap saja nyaris tidak pernah terjamah. Jadi, si pemeran adegan pun selalu menjadi satu-satunya korban dalam peristiwa semacam ini.

Peristiwa semacam ini tentu saja menambah deretan panjang kejadian serupa yang terjadi di Indonesia sejak HP berkamera diperkenalkan kepada publik. Mulai dari anak SMA, pegawai negeri, sampai anggota DPR pun pernah menghiasi layar monitor HP yang sebenarnya berukuran kecil itu. Resolusi gambar hasil rekaman di HP pun kadang-kadang tidak begitu bagus. Namun, hal itu tidak mengurangi minat orang untuk mengabadikan apa saja ke dalam tongkat ajaib yang bernama HP.

Ada apa sebenarnya sehingga peristiwa semacam itu terus saja terjadi di tanah air? Dalam diskusi saya dengan salah seorang teman, kami menyimpulkan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mengabadikan sesuatu entah dalam bentuk gambar atau dalam bentuk apa pun. Lihat saja lukisan-lukisan di gua dari zaman paleolithikum. Juga lihat, misalnya, betapa seringnya seseorang berfoto di depan sebuah objek terkenal atau di dalam sebuah acara yang antara lain sebenarnya bertujuan untuk memperoleh pengakuan bahwa si fulan sudah pernah mengunjungi sebuah tempat atau melakukan sesuatu. Dari situ bisa ditelusuri mengapa pelaku perekaman adegan masyuk itu pun tergoda untuk mengabadikan peristiwa intim mereka.

Lalu pertanyaannya adalah, mengapa heboh rekaman amatir lewat HP tersebut nyaris tidak terjadi di negara-negara yang lebih maju, misalnya Jepang, tempat saya menghabiskan waktu hidup selama 4 tahun terakhir ini? Mungkin banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah betapa intensif dan massifnya bisnis media esek-esek di Jepang. Jadi, kalaupun ada rekaman amatir yang bocor ke publik, itu seperti aliran sungai kecil menuju sebuah sungai besar dan deras. Namun, diskusi saya dengan teman saya menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang bisa lebih menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia itu. Tampaknya ada proses yang terjadi di negara maju, seperti Jepang, tetapi belum terjadi di Indonesia.

Tidak bisa dimungkiri bahwa teknologi dan manusia saling mempengaruhi. Teknologi ber-evolusi dan kadang-kadang be-revolusi demi kenyamanan pemakainya, yakni manusia; sehingga muncullah desain ergonomis atau user-friendly technology dan lain-lain. Namun, sejalan dengan itu, manusia pun berkembang mengikuti kemajuan teknologi. Nah, dalam hal ini, proses perkembangan manusia mengikuti kemajuan teknologi di Jepang sudah mencapai tingkat maturasi atau kematangan yang sedemikian rupa seiring dengan perkembangan kualitas SDM-nya. Sementara itu, proses di Indonesia berjalan lebih sporadis. Ada yang memang sudah matang, tetapi lebih banyak lagi yang belum matang. Sementara itu, paparan kemajuan teknologi di Indonesia nyaris sama dengan di Jepang. Sebagai contoh, gadget baru yang diperkenalkan di Jepang dalam tempo paling lambat setahun mungkin sudah dapat diperoleh di Indonesia. Akibatnya, muncullah gegar teknologi, istilah yang patut disandingkan dengan gegar budaya. Tampaknya, mental sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap menerima kemajuan teknologi terdepan, 3G, nanoteknologi, dan lain-lain.

Hasil dari semua ketidaksiapan mental dan budaya teknologi itu akhirnya mendorong manusia Indonesia bertindak yang aneh-aneh. Teknologi dijadikan sebagai ukuran gengsi dan status. Pemilihan teknologi tidak didasarkan pada aspek fungsionalitas dan kapabilitas, namun justru pada ukuran-ukuran sosial kemasyarakatan. Misalnya, karena HP merk dan seri tertentu identik dengan pengusaha, pejabat, anggota dewan, dan sederet kelompok berstatus tinggi lainnya, tiap orang yang mulai memasuki kelompok tersebut merasa belum nyaman kalau belum menenteng HP bertipe tersebut. Padahal, dari segi kebutuhan, dia jelas belum membutuhkannya dan, dari segi penguasaan teknologi, belum tentu dia bisa menguasai semua fitur yang ditawarkan HP bertipe tersebut. Akhirnya, yang terjadi hanyalah sebuah kesia-siaan.

Dalam hal perekaman adegan syur, pun hal yang sama terjadi. Tidak semua pelaku perekaman mengerti betul betapa rentannya keamanan data dan informasi pribadi pada zaman jaringan nirkabel sekarang ini. Oleh karena itu, adalah tindakan yang sangat riskan menyimpan gambar-gambar intim atau yang bersifat sangat pribadi di dalam HP. Semuanya itu begitu mudahnya berpindah tangan dan menyebar luas. Namun, semuanya seolah-oleh terbutakan oleh keinginan untuk mengabadikan yang menjadi fitrah dari manusia. Sementara itu, kesiapan mental dalam menyikapi teknologi mutakhir pun belum sepenuhnya muncul.

Study Warning

Kembali, sahabat lama saya, Dauz, mengirim sebuah pesan offline melalui messenger menyusul Virginia Tech Massacre by Cho Seung-Hui. Kebetulan sekali, ada seorang mahasiswa Indonesia, Saudara Partahi Mamora Lumbantoruan, yang menjadi korban penembakan membabi buta di kampus Virginia Tech itu--melalui posting ini saya juga turut menyampai duka cita atas kepergian Saudara Partahi secara mengenaskan. Dan, lagi-lagi, kebetulan sekali di Indonesia sedang ribut soal travel warning yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Travel warning itu ditujukan kepada warga AS agar menghindari terbang dengan maskapai Indonesia.

Menurut Dauz, kalau saja dia adalah Menteri Luar Negeri RI, dia akan mengeluarkan imbauan study warning ke Amerika Serikat bagi WNI. Ya, karena bersekolah di Amerika belum tentu aman. Jadi, kenapa kita enggak berani mengeluarkan travel warning? Saya hanya tertawa mendengarnya. Tetapi rasa-rasanya masuk akal juga ya? Paling tidak untuk menunjukkan bahwa kita pun bisa bersuara di hadapan Amerika Serikat.

Saturday, April 14, 2007

Sate Kuda

Baru saja seorang sahabat saya, Dauz, mengirimkan SMS dan mengabarkan bahwa dia sedang berada di Yogyakarta untuk syuting film profil perusahaan Sari Husada. Dia bertanya tentang Sate Kuda di dekat Jembatan Gondolayu, Yogyakarta. Terus terang, saya sudah lama sekali tidak makan sate kuda di dekat Tugu itu meskipun nyaris tiap tahun saya pasti pergi ke Yogyakarta. Kenapa? Ya, karena istri saya tidak suka sate kuda. Untuk urusan perut, memang istri saya lebih konservatif.

Sate kuda sebenarnya nyaris tidak ada bedanya dengan sate kerbau karena seratnya yang kasar dan tebal. Yang agak membedakan, warna dagingnya lebih merah daripada sate sapi atau kerbau ketika sudah matang. Rasanya? Mmm ... agak berbeda dengan sate kambing yang rada "prengus", sate kuda lebih tasteless. Namun, dampaknya lebih kuat daripada sate kambing karena akan membuat badan terasa hangat. Dampaknya tidak terasa langsung memang, tetapi akan terasa lebih lama daripada sate kambing.

Seingat saya, bumbu sate kuda itu seperti bumbu konvesional sate kambing: bumbu kacang dan bumbu kecap. Nah, siapa yang merasa penasaran untuk mencoba yang lain, saya sarankan untuk mencoba sate jaran kira-kira 100 meter di sebelah timur Hotel Phoenix, Yogyakarta.

Friday, April 13, 2007

Wonderful Life





Lagu dengan beat yang enak didengar ini saya dengarkan pertama kali ketika saya melihat sebuah drama Korea yang dibintang Kim Eugene. Drama sendiri cukup bagus karena mengajarkan cukup banyak arti kehidupan dan keluarga.