Di sela-sela gegap gempitanya berita tentang Virginia Tech Massacre dan sepinya perhatian terhadap jatuhnya korban jiwa di Irak yang terus berjatuhan nyaris tiap minggu, terdapat sebuah berita menyeruak dari Blitar, Jawa Timur. Seorang anak SMP beradegan syur yang direkam dalam HP dan kini rekamannya menyebar luas di wilayah Jawa Timur. Dapat dipastikan bahwa polisi, pers, dan masyarakat akan dengan mudah mencokok si pemeran adegan, sementara si pelaku penyebarluasan tetap saja nyaris tidak pernah terjamah. Jadi, si pemeran adegan pun selalu menjadi satu-satunya korban dalam peristiwa semacam ini.
Peristiwa semacam ini tentu saja menambah deretan panjang kejadian serupa yang terjadi di Indonesia sejak HP berkamera diperkenalkan kepada publik. Mulai dari anak SMA, pegawai negeri, sampai anggota DPR pun pernah menghiasi layar monitor HP yang sebenarnya berukuran kecil itu. Resolusi gambar hasil rekaman di HP pun kadang-kadang tidak begitu bagus. Namun, hal itu tidak mengurangi minat orang untuk mengabadikan apa saja ke dalam tongkat ajaib yang bernama HP.
Ada apa sebenarnya sehingga peristiwa semacam itu terus saja terjadi di tanah air? Dalam diskusi saya dengan salah seorang teman, kami menyimpulkan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mengabadikan sesuatu entah dalam bentuk gambar atau dalam bentuk apa pun. Lihat saja lukisan-lukisan di gua dari zaman paleolithikum. Juga lihat, misalnya, betapa seringnya seseorang berfoto di depan sebuah objek terkenal atau di dalam sebuah acara yang antara lain sebenarnya bertujuan untuk memperoleh pengakuan bahwa si fulan sudah pernah mengunjungi sebuah tempat atau melakukan sesuatu. Dari situ bisa ditelusuri mengapa pelaku perekaman adegan masyuk itu pun tergoda untuk mengabadikan peristiwa intim mereka.
Lalu pertanyaannya adalah, mengapa heboh rekaman amatir lewat HP tersebut nyaris tidak terjadi di negara-negara yang lebih maju, misalnya Jepang, tempat saya menghabiskan waktu hidup selama 4 tahun terakhir ini? Mungkin banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah betapa intensif dan massifnya bisnis media esek-esek di Jepang. Jadi, kalaupun ada rekaman amatir yang bocor ke publik, itu seperti aliran sungai kecil menuju sebuah sungai besar dan deras. Namun, diskusi saya dengan teman saya menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang bisa lebih menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia itu. Tampaknya ada proses yang terjadi di negara maju, seperti Jepang, tetapi belum terjadi di Indonesia.
Tidak bisa dimungkiri bahwa teknologi dan manusia saling mempengaruhi. Teknologi ber-evolusi dan kadang-kadang be-revolusi demi kenyamanan pemakainya, yakni manusia; sehingga muncullah desain ergonomis atau user-friendly technology dan lain-lain. Namun, sejalan dengan itu, manusia pun berkembang mengikuti kemajuan teknologi. Nah, dalam hal ini, proses perkembangan manusia mengikuti kemajuan teknologi di Jepang sudah mencapai tingkat maturasi atau kematangan yang sedemikian rupa seiring dengan perkembangan kualitas SDM-nya. Sementara itu, proses di Indonesia berjalan lebih sporadis. Ada yang memang sudah matang, tetapi lebih banyak lagi yang belum matang. Sementara itu, paparan kemajuan teknologi di Indonesia nyaris sama dengan di Jepang. Sebagai contoh, gadget baru yang diperkenalkan di Jepang dalam tempo paling lambat setahun mungkin sudah dapat diperoleh di Indonesia. Akibatnya, muncullah gegar teknologi, istilah yang patut disandingkan dengan gegar budaya. Tampaknya, mental sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap menerima kemajuan teknologi terdepan, 3G, nanoteknologi, dan lain-lain.
Hasil dari semua ketidaksiapan mental dan budaya teknologi itu akhirnya mendorong manusia Indonesia bertindak yang aneh-aneh. Teknologi dijadikan sebagai ukuran gengsi dan status. Pemilihan teknologi tidak didasarkan pada aspek fungsionalitas dan kapabilitas, namun justru pada ukuran-ukuran sosial kemasyarakatan. Misalnya, karena HP merk dan seri tertentu identik dengan pengusaha, pejabat, anggota dewan, dan sederet kelompok berstatus tinggi lainnya, tiap orang yang mulai memasuki kelompok tersebut merasa belum nyaman kalau belum menenteng HP bertipe tersebut. Padahal, dari segi kebutuhan, dia jelas belum membutuhkannya dan, dari segi penguasaan teknologi, belum tentu dia bisa menguasai semua fitur yang ditawarkan HP bertipe tersebut. Akhirnya, yang terjadi hanyalah sebuah kesia-siaan.
Dalam hal perekaman adegan syur, pun hal yang sama terjadi. Tidak semua pelaku perekaman mengerti betul betapa rentannya keamanan data dan informasi pribadi pada zaman jaringan nirkabel sekarang ini. Oleh karena itu, adalah tindakan yang sangat riskan menyimpan gambar-gambar intim atau yang bersifat sangat pribadi di dalam HP. Semuanya itu begitu mudahnya berpindah tangan dan menyebar luas. Namun, semuanya seolah-oleh terbutakan oleh keinginan untuk mengabadikan yang menjadi fitrah dari manusia. Sementara itu, kesiapan mental dalam menyikapi teknologi mutakhir pun belum sepenuhnya muncul.