Selamat Jalan, Pak Harto
Former Indonesian President Suharto, the U.S. Cold War ally who led one of the 20th century's most brutal dictatorships over 32 years that saw up to a million political opponents killed, died Sunday. Begitu kira-kira kalimat pembuka berita Yahoo News yang mengejutkan saya pada hari ini. Entah sulit melukiskan perasaan saya.
Kamis, 14 Mei sepuluh tahun silam saya ada di tengah lautan manusia di halaman FKUI, Salemba UI yang sedang membara. Semua bertujuan satu: menjatuhkan Soeharto. Saya pun datang jauh-jauh dari Depok bersama dengan teman-teman saya, ikut bergabung dengan para mahasiswa untuk menyuarakan suara hati rakyat Indonesia yang berkabung atas kebrutalan aparat yang merenggut 4 mahasiswa Universitas Trisakti dua hari sebelumnya.
Jika Soeharto wafat pada hari itu, mungkin saya akan ikut bersorak bersama-sama para mahasiswa yang sedang dipenuhi gelora euforia reformasi. Namun, Soeharto tidak mangkat hari itu; Soeharto wafat pada hari ini sekitar pukul 13.15 WIB. Soeharto pulang ke Sang Khalik justru ketika semua orang yang mungkin di dadanya dipenuhi bara reformasi pada bulan Mei 1998 sedang mengalami keraguan; keraguan atas langkah-langkah yang harus ditempuh oleh mereka. Keraguan untuk mengadili Soeharto. Keraguan untuk memberi pengampunan kepada Soeharto. Keraguan untuk melanjutkan pemilihan gubernur/bupati secara langsung.
Ya, Soeharto berpulang justru ketika beberapa orang yang dulu menghujat perbuatannya yang dianggap korup, namun kini malah mengulangi perbuatan itu--bahkan dengan skala yang lebih luar biasa. Soeharto adalah orang biasa, sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Soeharto bisa berbuat korup sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Jadi, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ada kesewenang-wenangan yang ditinggalkan Soeharto; namun, ada pula kebaikan yang ditinggalkan Soeharto dan itu tidak bisa kita mungkiri. Jadi, posisikan Soeharto sebagaimana layaknya: adili dia secara in absentia; putuskanlah salah kalau memang salah, putuskan bebas kalau memang tidak bersalah. Jika memang terbukti bersalah, mari kita bukakan pintu maaf kepada Soeharto karena sekarang segala urusannya selama di dunia menjadi tanggung jawabnya sendiri di hadapan Tuhannya dan di hadapan pengadilan akhir yang mahaadil.
Selamat jalan, Jenderal.
Kamis, 14 Mei sepuluh tahun silam saya ada di tengah lautan manusia di halaman FKUI, Salemba UI yang sedang membara. Semua bertujuan satu: menjatuhkan Soeharto. Saya pun datang jauh-jauh dari Depok bersama dengan teman-teman saya, ikut bergabung dengan para mahasiswa untuk menyuarakan suara hati rakyat Indonesia yang berkabung atas kebrutalan aparat yang merenggut 4 mahasiswa Universitas Trisakti dua hari sebelumnya.
Jika Soeharto wafat pada hari itu, mungkin saya akan ikut bersorak bersama-sama para mahasiswa yang sedang dipenuhi gelora euforia reformasi. Namun, Soeharto tidak mangkat hari itu; Soeharto wafat pada hari ini sekitar pukul 13.15 WIB. Soeharto pulang ke Sang Khalik justru ketika semua orang yang mungkin di dadanya dipenuhi bara reformasi pada bulan Mei 1998 sedang mengalami keraguan; keraguan atas langkah-langkah yang harus ditempuh oleh mereka. Keraguan untuk mengadili Soeharto. Keraguan untuk memberi pengampunan kepada Soeharto. Keraguan untuk melanjutkan pemilihan gubernur/bupati secara langsung.
Ya, Soeharto berpulang justru ketika beberapa orang yang dulu menghujat perbuatannya yang dianggap korup, namun kini malah mengulangi perbuatan itu--bahkan dengan skala yang lebih luar biasa. Soeharto adalah orang biasa, sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Soeharto bisa berbuat korup sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Jadi, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ada kesewenang-wenangan yang ditinggalkan Soeharto; namun, ada pula kebaikan yang ditinggalkan Soeharto dan itu tidak bisa kita mungkiri. Jadi, posisikan Soeharto sebagaimana layaknya: adili dia secara in absentia; putuskanlah salah kalau memang salah, putuskan bebas kalau memang tidak bersalah. Jika memang terbukti bersalah, mari kita bukakan pintu maaf kepada Soeharto karena sekarang segala urusannya selama di dunia menjadi tanggung jawabnya sendiri di hadapan Tuhannya dan di hadapan pengadilan akhir yang mahaadil.
Selamat jalan, Jenderal.