Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Sunday, November 11, 2007

Kemacetan di Jakarta

Kemacetan di Jakarta adalah fenomena yang multidimensional. Jadi, solusinya juga harus multidimensional, bukan hanya mengurangi jumlah kendaraan berdasarkan usia kendaraan atau three in one. Juga jangan secara gegabah menyalahkan pabrikan otomotif atau produsen mobil. Hal itu tentu saja justru akan menggelikan di mata mereka yang notabene adalah orang-orang asing. Oleh sebab itu, ada baiknya kita lihat dulu satu per satu carut-marutnya soal perlalulintasan di ibukota negara kita ini.

Menurut hemat saya, carut pertama adalah tidak adanya mekanisme, atau bahkan iktikad, yang jelas untuk mengatur jumlah kendaraan di ibukota negara kita. Jika menyangkut kuantitas, kelihatannya semuanya di negeri ini serba jor-joran. Tidak hanya kendaraan pribadi, kendaraan umum pun demikian. Lihat saja, berapa laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor di ibukota dan daerah peyangganya? Lalu, tidak ada mekanisme untuk mengatur perimbangannya. Jika dalam hal populasi penduduk, ada penduduk yang lahir, tetapi tidak sedikit pula yang meninggal. Jadi, ada mekanisme alami untuk menjaga keseimbangan penduduk. Dalam hal kendaraan bermotor, itu tidak terjadi di Indonesia. Tidak ada batasan usia kendaraan; semuanya diserahkan kepada masyarakat: boleh menjalankan kendaraannya asalkan mesin kendaraannya masih mampu. Akibatnya, jumlah kendaraan baru makin bertambah tiada henti, sementara kendaraan lama tidak pernah mengalami pengurangan yang signifikan. Akhirnya, jumlahnya pun menumpuk.

Berkaitan dengan carut pertama, tidak ada pajak progesif yang diberlakukan untuk mencegah kepemilikan kendaraan secara berlebih-lebihan. Sementara ekonom mengatakan bahwa ada dua pajak sebenarnya yang bisa diberlakukan. Pertama adalah pajak BBM. Jadi, jenis BBM dengan nilai oktan tinggi ditentukan harganya berdasarkan harga pasaran internasional. Jadi, jika harga minyak dunia melampaui 100 dolar per barel, semuanya harus ditanggung pembeli jenis BBM tersebut. Dan, kendaraan dengan kapasitas mesin lebih dari 2000cc tidak boleh tidak harus membeli jenis BBM tersebut. Kepada jenis BBM tersebut juga dikenakan pajak yang tinggi. Pajak progesif kedua adalah pajak kendaraan. Pajak untuk kendaraan pertama harus dibedakan dengan pajak kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya. Jadi, mulai pajak kendaraan kedua dan seterusnya diberlakukan pajak yang terus berlipat. Hal ini tentu saja akan membuat orang berpikir ulang jika ingin membeli mobil secara berlebihan.

Masih berkaitan dengan carut pertama, pihak pemerintah seharusnya meneruskan program moda transportasi secara menyeluruh di Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Konsep Sutiyoso tentang busway barangkali tetap bisa dilanjutkan, tentu saja dengan perbaikan di sana sini. Saat ini, dengan melihat kondisi keuangan negara, tentu saja masih sulit untuk mengembangkan moda angkutan dengan sistem rel atau mass-rapid train. Dengan tersedianya moda transportasi umum yang nyaman, aman, cepat dan terintegrasi, pasti orang akan berbondong-bondong menggunakan moda tersebut daripada terjebak dalam kemacetan. Akibatnya, pemakaian kendaraan pribadi pun akan berkurang.

Setelah transportasi umum diperbaiki, baru bisa dipikirkan mekanisme untuk pembatasan jumlah kendaraan yang beroperasi tiap hari di jalanan ibukota. Saya kira program 3 in 1 masih bisa dijalankan, dan kalau perlu diperluas. Ada satu mekanisme lain yang ingin saya sampaikan. Sejatinya ini terinspirasi oleh stiker parkir atau masuk ke lingkungan tertentu. Nah, untuk memastikan bahwa hanya kendaraan tertentu yang bisa melewati jalur tertentu, diberlakukan stiker komuter berdasarkan zona. Misalnya, stiker biru adalah untuk zona Senayan, Tanah Abang, Slipi dan Grogol; stiker Hijau untuk zona Sudirman, Kuningan, Menteng, dan Kebon Sirih; dan begitu seterusnya. Untuk mendapatkan stiker, dibutuhkan persyaratan yang tidak mudah, misalnya emisi kendaraan yang baik, masa berlaku STNK minimal 6 bulan, dan yang terakhir adalah harus membayar privilese bagi kendaraan komuter untuk lewat jalan itu yang tentunya tidak murah. Kendaraan yang tidak berstiker boleh melewati jalur itu setelah jam tertentu, atau setelah mendapatkan kartu izin lewat dari pihak yang berwenang.

Carut yang terakhir adalah prasarana jalan. Tidak dapat dimungkiri bahwa upaya pemerintah daerah dan pusat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas jalan di Jakarta dan sekitarnya memang sudah ada. Namun, perawatan jalan tampaknya masih kurang mendapat prioritas. Masih banyak jalan yang berlubang dan rusak. Tidak jarang itu membuat laju kendaraan terhambat dan akhirnya menimbulkan kemacetan. Kurangnya rambu lalu lintas, rusaknya lampu pengatur lalu lintas, tidak adanya pembatas jalan menambah panjang fasilitas atau prasarana jalan di ibukota yang harus diperbaiki. Jadi, intinya kendaraannya dibatasi dan prasarana jalannya pun ditingkatkan. Klise memang, tetapi memang itu masalahnya!