Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Tuesday, September 11, 2007

Genre Film Horor = Film Berkualitas Rendah?

Dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan seorang sahabat, saya sempat beradu argumen bahwa tidak selamanya film yang bergenre horor itu berkualitas rendah. Dengan nada bercanda, sahabat saya lalu menyodorkan sederet judul-judul film horor seperti Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Mak Lampir, Sundel Bolong, Genderuwo, dan lain-lain. Memang secara kebetulan film horor yang dirujuk sahabat saya itu mungkin sulit kita kategorikan ke dalam kelompok film horor berkualitas. Coba kalau kita melihat film horor Asia seperti Shutter, Ju-On, atau Ringu; atau film horor Hollywood, seperti What Lies Beneath atau the Others? (Meskipun kedua film terakhir tersebut dalam kategori tertentu lebih sering dimasukkan ke dalam thriller, ada pula yang memasukkan ke dalam kategori horor); apakah kita masih menganggap genre film horor itu rendah kualitasnya?

Meskipun demikian, film-film yang disodorkan oleh sahabat saya tadi tidak bisa juga disepelekan begitu saja. Film-film horor semacam itulah yang pada zamannya teramat laris. Kita tentu masih ingat ada berapa sekuel Sundel Bolong dan Nyi Blorong dalam sejarah film Indonesia? Itu menunjukkan bahwa film horor merupakan salah satu film terpopuler di Indonesia.

Film horor memang menjadi salah satu genre film yang cukup populer di Asia; bahkan film horor dari Jepang, Thailand, dan--belakangan--Korea kian mempunyai reputasi yang cukup baik di kawasan ini. Alhasil, film horor Jepang, Korea, dan Thailand seperti menjadi jaminan bahwa penonton pasti akan merasa seram melihatnya. Seperti tidak ingin ketinggalan, Indonesia pun mulai keranjingan memproduksi film horor. Hanya saja, menurut saya, latar belakangnya agak berbeda. Saya teringat analisis Eep Saefulloh Fatah bahwa bangsa yang sedang mengalami kemunduran di segala bidang biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal yang gaib. Jadi, agak berbeda dengan Jepang, Korea, dan Thailand, saya kira, Indonesia beranjak dari titik yang berbeda. Akibatnya, bisa ditebak bahwa belasan film horor Indonesia yang muncul belakangan ini betul-betul jauh dari harapan, bahkan termasuk film Rudi Sujarwo Pocong 2 dan film Hanung Bramantyo Lentera Merah.

Ada semacam rumus dasar dalam membuat film horor Indonesia, yakni sosok hantunya harus seseram mungkin, sementara jalan cerita dan nalarnya tidak perlu diperhatikan karena toh masyarakat Indonesia belum sampai ke sana. Begitu mungkin yang terbersit dalam pikiran para produser, sutadara, dan penulis skenario. Mereka lupa bahwa penonton Indonesia masa sekarang sudah jauh berbeda dengan penonton Indonesia zaman sekuel Sundel Bolong-nya Suzanna. Mereka lupa bahwa pendidikan di Indonesia telah berhasil mengentaskan warganya dari lembah kebodohan. Para insan perfilman juga lupa bahwa kebanyakan mereka yang bisa pergi menonton ke bioskop-bioskop di kota besar dengan ongkos mahal dan yang justru menjadi sasaran untuk menangguk keuntungan adalah mereka yang telah cerdas dan kritis. Jika itu sampai diabaikan, jelas itu sebuah kekonyolan. Kini jelas bahwa para insan film sendiri tidak pernah mempertimbangkan realitas penonton film Indonesia; atau para insan perfilman itu memang tidak pernah mau berubah dari kondisi berpikir yang sama dengan 20 tahun silam?

Penonton sekarang tentu saja tidak akan tergetar hanya melihat sosok kuntilanak berpakaian putih yang terbang melayang, namun tanpa maksud jelas. Mereka tidak hanya puas melihat sosok menyeramkan itu. Mereka menuntut lebih. Selain sosok, musik juga berpengaruh untuk meningkatkan kadar keseraman. Namun, semuanya itu akan sia-sia belaka kalau tidak ada jalan cerita yang masuk akal, dan sekaligus menyeramkan. Jadi, fatsoen dalam membuat film horor Indonesia sudah saatnya berubah. Harus disadari bahwa bumbu film horor Indonesia masa kini adalah sosok, musik, alur nalar, dan perpindahan adegan yang "menyeramkan". Jalan cerita yang seram akan membekaskan kesan ngeri yang teramat mendalam, daripada sekadar sosok suster ngesot. Percayalah.

Monday, September 10, 2007

Suwe Ora Jamu, Ya Ramadan.

Lama tidak bertemu, long time no see, お久しぶり, 오래간만입니다, dan masih banyak lagi ungkapan dalam pelbagai bahasa untuk menyatakan keadaan tidak saling bertatap muka dalam satuan waktu tertentu. Biasanya ungkapan itu digunakan jika tidak saling bertemu lebih dari satu bulan. Jadi, cocok sekali bagi saya menggunakan ungkapan tadi karena jarak postingan ini dan sebelumnya lebih dari satu bulan. Namun, ungkapan ini juga cocok untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Ada cukup banyak peristiwa sejak posting saya sebelumnya. Saya mengikuti sebuah simposium internasional Nitobe di Sophia University. Simposium internasional saya yang pertama. Di sana saya bertemu dengan seorang ahli bahasa Jawa, Profesor Joseph Errington, dari Yale University. Kami bisa bercakap-cakap sedikit tentang banyak hal walaupun hanya dalam waktu terbatas. Lalu, pada pertengahan Agustus saya kembali ke Indonesia sebentar untuk tugas mengantar mahasiswa ke Bali. Saya senang sekali bisa bertemu dengan sahabat-sahabat saya tercinta di Yogyakarta.

Kemarin, kedua orang tua saya yang menunggui kami selama kelahiran bayi sudah kembali meninggalkan kami karena ingin menunaikan ibadah puasa di Indonesia. Ya, ramadan memang sudah berada di ambang pintu. Marhaban ya Ramadan.