分かち合うの愛 (Love for Share)

Film dibuka dengan adegan dialog antara Salma (Jajang C. Noer) dengan Nadim kecil--yang ini saya lupa namanya. Meskipun dialognya cukup "berisi", sayangnya pembuka film ini kurang greget dari aspek visualisasinya. Penyajian teks judul dan pemain tampak tidak memerangkap mata (eye-catching) dan juga terkesan biasa-biasa saja. Saya lebih terkesan dengan ide Nia Dinata dengan penyajian teks judul dan pemain pada film Arisan (2004). Cukup kreatif. Seperti Arisan, saya melihat kepiawaian Nia Dinata dalam film itu sehingga alur ceritanya yang lumayan berat terkesan mengalir begitu saja. Satu hal lagi, saya melihat keberanian Nia mengambil tema-tema yang tidak biasa. Juga kepiawaian Nia memotret fenomena sosial di sekitar kehidupan sehari-hari.
Jika di dalam Arisan, ia bercerita mengenai ajang bersosialisasi dan sekaligus pamer kaum jetset di Jakarta, di dalam Berbagi Suami, Nia bercerita tentang praktik poligami yang masih terjadi di dalam masyarakat. Cerita dalam Berbagi Suami terbagi atas tiga alur cerita yang berbeda, namun saling menjalin satu sama lain.
Tiap-tiap tokoh dalam ketiga alur itu sebenarnya tidak begitu mengenal satu sama lain, namun mereka dihubungkan dengan nasib dan kisah yang nyaris sama. Salma (Jajang C. Noer) yang bersuamikan Pak Haji (El Manik) begitu tabahnya menghadapi kenyataan bahwa suaminya mempunyai istri kedua (Nungki Kusumastuti) dan Ima (Atiqah Hasiholan) meskipun sering dicemooh ketabahannya oleh anaknya Nadim (Winky Wirawan). Demikian juga dengan Siti (Shanty) yang lugu mau saja diajak ke Jakarta untuk dikawini oleh Pak Liknya (Lukman Sardi), seorang supir kru film, yang ternyata sudah mempunyai dua orang istri, yakni Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka). Sementara itu, Ming (Dominique A. Diyose) seorang gadis cina cantik masa kini yang ternyata didemeni oleh bossnya sendiri Koh Bun (Tio Pakusadewo), pemilik sekaligus juru masak restoran bebek goreng tersohor yang telah beristrikan Cik Linda (Ira Maya Sopha).
Kisah dalam Berbagi Suami begitu hidup dan mengalir. Begitu jelas digambarkan bagaimana poligami sejatinya tidak pernah ada manfaatnya bagi wanita dan kehidupan normal sebuah keluarga. Kadang-kadang ada rasa malu mengalir dalam aliran darah saya ketika menyadari bahwa film itu juga ditonton oleh banyak orang asing. Betapa dekatnya dan nyatanya film itu menggambarkan fenomena yang masih subur di Indonesia itu. Namun, saya merasakan ada pesan yang ingin ditampilkan oleh Nia Dinata daripada sekadar membuat duduk saya tak tenang dan nyaman ketika menonton film itu. Ya, pesannya jelas bahwa Berbagi Suami adalah salah satu potret masyarakat Indonesia yang kusam dan harus dihapuskan atas nama keadilan. Betapapun harmonisnya sebuah perkawinan poligamis, tidak mungkin semuanya betul-betul berjalan dengan adil.