Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Tuesday, October 31, 2006

分かち合うの愛 (Love for Share)

Menonton film Indonesia di negeri sendiri bukanlah hal aneh. Menonton film Indonesia lewat streaming internet atau dengan DVD player di negeri orang juga bukan hal yang mustahil pada era belakangan ini. Namun, menonton film Indonesia di bioskop di luar negeri pada sebuah festival mungkin bukanlah kesempatan yang sering datang. Ya, Sabtu lalu (28/10), dengan berbekal tiket seharga 1500 yen yang dibeli lewat Family Mart, saya menonton film Love for Share atau dalam bahasa Jepang 分かち合うの愛 bersama dengan teman Jepang di Bunkamura, Shibuya.

Film dibuka dengan adegan dialog antara Salma (Jajang C. Noer) dengan Nadim kecil--yang ini saya lupa namanya. Meskipun dialognya cukup "berisi", sayangnya pembuka film ini kurang greget dari aspek visualisasinya. Penyajian teks judul dan pemain tampak tidak memerangkap mata (eye-catching) dan juga terkesan biasa-biasa saja. Saya lebih terkesan dengan ide Nia Dinata dengan penyajian teks judul dan pemain pada film Arisan (2004). Cukup kreatif. Seperti Arisan, saya melihat kepiawaian Nia Dinata dalam film itu sehingga alur ceritanya yang lumayan berat terkesan mengalir begitu saja. Satu hal lagi, saya melihat keberanian Nia mengambil tema-tema yang tidak biasa. Juga kepiawaian Nia memotret fenomena sosial di sekitar kehidupan sehari-hari.


Jika di dalam Arisan, ia bercerita mengenai ajang bersosialisasi dan sekaligus pamer kaum jetset di Jakarta, di dalam Berbagi Suami, Nia bercerita tentang praktik poligami yang masih terjadi di dalam masyarakat. Cerita dalam Berbagi Suami terbagi atas tiga alur cerita yang berbeda, namun saling menjalin satu sama lain.


Tiap-tiap tokoh dalam ketiga alur itu sebenarnya tidak begitu mengenal satu sama lain, namun mereka dihubungkan dengan nasib dan kisah yang nyaris sama. Salma (Jajang C. Noer) yang bersuamikan Pak Haji (El Manik) begitu tabahnya menghadapi kenyataan bahwa suaminya mempunyai istri kedua (Nungki Kusumastuti) dan Ima (Atiqah Hasiholan) meskipun sering dicemooh ketabahannya oleh anaknya Nadim (Winky Wirawan). Demikian juga dengan Siti (Shanty) yang lugu mau saja diajak ke Jakarta untuk dikawini oleh Pak Liknya (Lukman Sardi), seorang supir kru film, yang ternyata sudah mempunyai dua orang istri, yakni Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka). Sementara itu, Ming (Dominique A. Diyose) seorang gadis cina cantik masa kini yang ternyata didemeni oleh bossnya sendiri Koh Bun (Tio Pakusadewo), pemilik sekaligus juru masak restoran bebek goreng tersohor yang telah beristrikan Cik Linda (Ira Maya Sopha).


Kisah dalam Berbagi Suami begitu hidup dan mengalir. Begitu jelas digambarkan bagaimana poligami sejatinya tidak pernah ada manfaatnya bagi wanita dan kehidupan normal sebuah keluarga. Kadang-kadang ada rasa malu mengalir dalam aliran darah saya ketika menyadari bahwa film itu juga ditonton oleh banyak orang asing. Betapa dekatnya dan nyatanya film itu menggambarkan fenomena yang masih subur di Indonesia itu. Namun, saya merasakan ada pesan yang ingin ditampilkan oleh Nia Dinata daripada sekadar membuat duduk saya tak tenang dan nyaman ketika menonton film itu. Ya, pesannya jelas bahwa Berbagi Suami adalah salah satu potret masyarakat Indonesia yang kusam dan harus dihapuskan atas nama keadilan. Betapapun harmonisnya sebuah perkawinan poligamis, tidak mungkin semuanya betul-betul berjalan dengan adil.

Saturday, October 28, 2006

Di antara dua presiden

Beberapa hari ini saya bingung dan nyaris tidak bisa tidur. Nyaris tidak bisa tidur karena dalam minggu ini satu draft proposal penelitian dan satu paper guna keperluan studi S3 harus dikumpulkan. Untungnya tidak dalam bahasa Jepang, tetapi dalam bahasa Inggris. Belum cukup digesa-gesakan oleh himpitan tugas tersebut, tiba-tiba ada tugas baru dari Presiden Keio University, Prof. Anzai. Secara kelembagaan, beliau menugasi saya membuat resume tentang Susilo Bambang Yudhoyono. Mengapa SBY? Ternyata, pihak Keio University akan memberi gelar doktor honoris causa kepada Presiden RI ke-6 tersebut pada 27 November 2006. Selain resume, Presiden Keio, Prof. Anzai, juga menugasi saya membuat secarik surat untuk Presiden Yudhoyono yang akan dibacakan beliau sebagai pemimpin tertinggi Keio University dalam upacara penganugerahan gelar tersebut.

Presiden Yudhoyono akan dianugerahi gelar doktor kehormatan untuk bidang media dan pemerintahan atas jasa-jasa beliau dalam memperjuangkan perdamaian, memulihkan perekonomian Indonesia, dan memerangi terorisme. Jadi, tugas pribadi pun terbengkalai karena saya terjepit di antara dua presiden: Presiden Keio University dan Presiden Republik Indonesia. Apa boleh buat. Namun, saya merasa cukup beruntung dilibatkan dalam urusan "besar" semacam ini. Belum tentu hal yang sama akan saya peroleh kalau saya ada di Indonesia.

Friday, October 27, 2006

Mohon maaf lahir dan batin

Ketika mendung menggayut di langit Tokyo, ketika itu pulalah kami berjuang melawan rasa kantuk untuk segera pergi ke tempat shalat Idul Fitri yang jaraknya puluhan kilometer dari rumah kami. Ketika suhu merambat turun ke garis-garis angka belasan, ketika itu pulalah kami berlomba dengan rasa dingin untuk segera melaksanakan takbir. Semua penderitaan pun hilang kala tiba waktunya shalat dan bersalaman dengan rekan, sahabat dan handai taulan.

SELAMAT IDUL FITRI 1427 H. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.