Obrolan Santai

Situs Tak Resmi Totok Suhardiyanto

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I am an open-minded person who want to meet more good friends

Friday, April 11, 2008

Amplop

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan amplop adalah 1 sampul surat; 2 ki uang sogok. Entah kenapa, belakangan ini yang lebih menonjol adalah arti yang kedua, atau arti kiasannya. Apalagi, sejak tertangkap selebriti KPK dalam sebulan terakhir ini: Jaksa Urip dan Anggota Dewan Al Amin.

Sebagaimana kita ketahui bersama, makna kiasan atau figuratif dibentuk dengan menekankan salah satu aspek, relasi, atau pun atribut dari makna denotatifnya. Nah, amplop dalam hal ini disamakan dengan uang sogok karena adanya relasi fungsional pada amplop sebagai alat pembungkus kertas atau benda-benda tipis lainnya, termasuk di antaranya surat lamaran, surat cinta, dokumen, termasuk tentu saja uang kertas. Memang ada pula orang yang menggunakan amplop ukuran besar untuk menyimpan laptop MacBook Air. Paling tidak, itu yang saya lihat dalam iklan Mac yang mutakhir.

Kembali kepada relasi fungsional tersebut, relasi tersebutlah yang kemudian dikukuhkan sehingga kata "amplop" juga mewakili konsep 'uang sogok'. Saya kira, cukup banyak fenomena kebahasaan semacam itu. Sebut saja, misalnya meja hijau, boneka, dan lain sebagainya. Namun, tentu saja, tidak semuanya merupakan bentuk gubahan asli Indonesia karena ada juga yang diadaptasi dari bahasa Inggris atau bahasa lainnya.

Karena begitu populernya amplop sebagai alat sogokan, ada pula istilah wartawan amplop, dan kini anggota dewan amplop. Jika demikian, anggota DPR yang merasa lazim untuk menerima amplop dengan arti konotasi tersebut sebaiknya juga sekaligus menjadi anggota DPA. Lho, bukankah DPA merupakan lembaga lama versi Orde Baru? Bukan, DPA ini tidak ada hubungan dengan lembaga pertimbangan itu. DPA ini adalah Daftar Penerima Amplop. Jika sudah begitu, sebaiknya anggota dewan tersebut juga menerima amplop yang lain, bukan berisi uang, melainkan sebuah surat teguran keras dan pemecatan atas dirinya. Jadi, sebaiknya, marilah kita kembalikan makna amplop kepada arti sebenarnya demi kejayaan Indonesia.

Sunday, January 27, 2008

Selamat Jalan, Pak Harto

Former Indonesian President Suharto, the U.S. Cold War ally who led one of the 20th century's most brutal dictatorships over 32 years that saw up to a million political opponents killed, died Sunday. Begitu kira-kira kalimat pembuka berita Yahoo News yang mengejutkan saya pada hari ini. Entah sulit melukiskan perasaan saya.

Kamis, 14 Mei sepuluh tahun silam saya ada di tengah lautan manusia di halaman FKUI, Salemba UI yang sedang membara. Semua bertujuan satu: menjatuhkan Soeharto. Saya pun datang jauh-jauh dari Depok bersama dengan teman-teman saya, ikut bergabung dengan para mahasiswa untuk menyuarakan suara hati rakyat Indonesia yang berkabung atas kebrutalan aparat yang merenggut 4 mahasiswa Universitas Trisakti dua hari sebelumnya.

Jika Soeharto wafat pada hari itu, mungkin saya akan ikut bersorak bersama-sama para mahasiswa yang sedang dipenuhi gelora euforia reformasi. Namun, Soeharto tidak mangkat hari itu; Soeharto wafat pada hari ini sekitar pukul 13.15 WIB. Soeharto pulang ke Sang Khalik justru ketika semua orang yang mungkin di dadanya dipenuhi bara reformasi pada bulan Mei 1998 sedang mengalami keraguan; keraguan atas langkah-langkah yang harus ditempuh oleh mereka. Keraguan untuk mengadili Soeharto. Keraguan untuk memberi pengampunan kepada Soeharto. Keraguan untuk melanjutkan pemilihan gubernur/bupati secara langsung.

Ya, Soeharto berpulang justru ketika beberapa orang yang dulu menghujat perbuatannya yang dianggap korup, namun kini malah mengulangi perbuatan itu--bahkan dengan skala yang lebih luar biasa. Soeharto adalah orang biasa, sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Soeharto bisa berbuat korup sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Jadi, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ada kesewenang-wenangan yang ditinggalkan Soeharto; namun, ada pula kebaikan yang ditinggalkan Soeharto dan itu tidak bisa kita mungkiri. Jadi, posisikan Soeharto sebagaimana layaknya: adili dia secara in absentia; putuskanlah salah kalau memang salah, putuskan bebas kalau memang tidak bersalah. Jika memang terbukti bersalah, mari kita bukakan pintu maaf kepada Soeharto karena sekarang segala urusannya selama di dunia menjadi tanggung jawabnya sendiri di hadapan Tuhannya dan di hadapan pengadilan akhir yang mahaadil.

Selamat jalan, Jenderal.

Sunday, December 09, 2007

Iklim dan Ekonomi

Ketika saya menulis ini, mungkin di Denpasar para pemuncak pemerintahan di dunia sedang beradu argumen dalam mengupayakan pengurangan emisi ke atmosfer dunia, serta menciptakan sebuah fase perdagangan yang berwawasan lingkungan. Saya tercenung memikirkan bahwa betapa sebuah upaya penyelamatan lingkungan begitu bergantungnya pada upaya-upaya ekonomi yang dilakukan komunitas internasional. Akibatnya terjadi posisi tawar-menawar yang cukup kuat di antara pelaku-pelaku ekonomi di dunia: negara-negara Uni Eropa di satu sisi, Amerika, Jepang dan Kanada di sisi lain, negara-negara berkembang pemilik hutan tropis di keping lain, dan juga negara-negara pengekspor minyak di keping satu lagi. Belum terhitung pula kepingan negara-negara yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Rumit memang memikirkan persoalan perubahan iklim ini karena banyaknya mozaik yang harus diperhatikan.


Ada beberapa sudut pandang yang memang perlu disamakan dalam memandang persoalan ini. Biasanya, orang berbicara ekonomi karena itu menyangkut persoalan "hari ini" atau "dalam waktu dekat ini". Sementara itu, orang berbicara lingkungan karena itu dianggap menyangkut "masa depan" atau "masa yang akan datang". Namun, sesungguhnya apa yang dianggap "in the future" itu sebenarnya sudah "in the near future" atau malah sudah berlangsung. Lihat saja perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan dan hasil pertanian atau perkebunan di beberapa negara.


Perubahan iklim juga membangkitkan badai berdaya rusak tinggi di beberapa kawasan. Juga menimbulkan bencana hujan deras dan angin puting beliung di negara-negara seperti Indonesia. Jadi, persoalan lingkungan dan perubahan iklim sudah selayaknya diletakkan pada porsi menu "hari ini", bukan lagi "nanti"; dan sudah tidak bisa lagi ditunda-tunda pencegahannya kalau tidak ingin kiamat klimatis benar-benar menjadi kenyataan. Jangan-jangan, tanpa kita sadari, bencana klimatis berskala besar itu sudah mengintip kehidupan kita dan sudah berada di ambang pintu halaman rumah kita.

Labels:

Sunday, November 11, 2007

Kemacetan di Jakarta

Kemacetan di Jakarta adalah fenomena yang multidimensional. Jadi, solusinya juga harus multidimensional, bukan hanya mengurangi jumlah kendaraan berdasarkan usia kendaraan atau three in one. Juga jangan secara gegabah menyalahkan pabrikan otomotif atau produsen mobil. Hal itu tentu saja justru akan menggelikan di mata mereka yang notabene adalah orang-orang asing. Oleh sebab itu, ada baiknya kita lihat dulu satu per satu carut-marutnya soal perlalulintasan di ibukota negara kita ini.

Menurut hemat saya, carut pertama adalah tidak adanya mekanisme, atau bahkan iktikad, yang jelas untuk mengatur jumlah kendaraan di ibukota negara kita. Jika menyangkut kuantitas, kelihatannya semuanya di negeri ini serba jor-joran. Tidak hanya kendaraan pribadi, kendaraan umum pun demikian. Lihat saja, berapa laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor di ibukota dan daerah peyangganya? Lalu, tidak ada mekanisme untuk mengatur perimbangannya. Jika dalam hal populasi penduduk, ada penduduk yang lahir, tetapi tidak sedikit pula yang meninggal. Jadi, ada mekanisme alami untuk menjaga keseimbangan penduduk. Dalam hal kendaraan bermotor, itu tidak terjadi di Indonesia. Tidak ada batasan usia kendaraan; semuanya diserahkan kepada masyarakat: boleh menjalankan kendaraannya asalkan mesin kendaraannya masih mampu. Akibatnya, jumlah kendaraan baru makin bertambah tiada henti, sementara kendaraan lama tidak pernah mengalami pengurangan yang signifikan. Akhirnya, jumlahnya pun menumpuk.

Berkaitan dengan carut pertama, tidak ada pajak progesif yang diberlakukan untuk mencegah kepemilikan kendaraan secara berlebih-lebihan. Sementara ekonom mengatakan bahwa ada dua pajak sebenarnya yang bisa diberlakukan. Pertama adalah pajak BBM. Jadi, jenis BBM dengan nilai oktan tinggi ditentukan harganya berdasarkan harga pasaran internasional. Jadi, jika harga minyak dunia melampaui 100 dolar per barel, semuanya harus ditanggung pembeli jenis BBM tersebut. Dan, kendaraan dengan kapasitas mesin lebih dari 2000cc tidak boleh tidak harus membeli jenis BBM tersebut. Kepada jenis BBM tersebut juga dikenakan pajak yang tinggi. Pajak progesif kedua adalah pajak kendaraan. Pajak untuk kendaraan pertama harus dibedakan dengan pajak kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya. Jadi, mulai pajak kendaraan kedua dan seterusnya diberlakukan pajak yang terus berlipat. Hal ini tentu saja akan membuat orang berpikir ulang jika ingin membeli mobil secara berlebihan.

Masih berkaitan dengan carut pertama, pihak pemerintah seharusnya meneruskan program moda transportasi secara menyeluruh di Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Konsep Sutiyoso tentang busway barangkali tetap bisa dilanjutkan, tentu saja dengan perbaikan di sana sini. Saat ini, dengan melihat kondisi keuangan negara, tentu saja masih sulit untuk mengembangkan moda angkutan dengan sistem rel atau mass-rapid train. Dengan tersedianya moda transportasi umum yang nyaman, aman, cepat dan terintegrasi, pasti orang akan berbondong-bondong menggunakan moda tersebut daripada terjebak dalam kemacetan. Akibatnya, pemakaian kendaraan pribadi pun akan berkurang.

Setelah transportasi umum diperbaiki, baru bisa dipikirkan mekanisme untuk pembatasan jumlah kendaraan yang beroperasi tiap hari di jalanan ibukota. Saya kira program 3 in 1 masih bisa dijalankan, dan kalau perlu diperluas. Ada satu mekanisme lain yang ingin saya sampaikan. Sejatinya ini terinspirasi oleh stiker parkir atau masuk ke lingkungan tertentu. Nah, untuk memastikan bahwa hanya kendaraan tertentu yang bisa melewati jalur tertentu, diberlakukan stiker komuter berdasarkan zona. Misalnya, stiker biru adalah untuk zona Senayan, Tanah Abang, Slipi dan Grogol; stiker Hijau untuk zona Sudirman, Kuningan, Menteng, dan Kebon Sirih; dan begitu seterusnya. Untuk mendapatkan stiker, dibutuhkan persyaratan yang tidak mudah, misalnya emisi kendaraan yang baik, masa berlaku STNK minimal 6 bulan, dan yang terakhir adalah harus membayar privilese bagi kendaraan komuter untuk lewat jalan itu yang tentunya tidak murah. Kendaraan yang tidak berstiker boleh melewati jalur itu setelah jam tertentu, atau setelah mendapatkan kartu izin lewat dari pihak yang berwenang.

Carut yang terakhir adalah prasarana jalan. Tidak dapat dimungkiri bahwa upaya pemerintah daerah dan pusat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas jalan di Jakarta dan sekitarnya memang sudah ada. Namun, perawatan jalan tampaknya masih kurang mendapat prioritas. Masih banyak jalan yang berlubang dan rusak. Tidak jarang itu membuat laju kendaraan terhambat dan akhirnya menimbulkan kemacetan. Kurangnya rambu lalu lintas, rusaknya lampu pengatur lalu lintas, tidak adanya pembatas jalan menambah panjang fasilitas atau prasarana jalan di ibukota yang harus diperbaiki. Jadi, intinya kendaraannya dibatasi dan prasarana jalannya pun ditingkatkan. Klise memang, tetapi memang itu masalahnya!

Tuesday, October 16, 2007

Mengapa hanya setahun sekali?

Dari berita di koran, saya mendengar bahwa hiruk-pikuk mudik lebaran terjadi di mana-mana. Dan, di mana-mana kemacetan berkilo-kilo meter menjadi sebagai sebuah kewajaran. Begitu fenomenal memang tradisi mudik lebaran di tanah air. Pesawat habis tiketnya, bus penuh, kereta sesak, dan kapal laut pun tak luput dari serbuan pemudik. Sekian tahun silam, hal itu sangat akrab dengan diri saya. Jadi, saya tahu betul apa yang dicari oleh pemudik dengan berdesak-desakan mulai dari antre tiket, naik ke atas alat angkut, sampai dalam perjalanan selanjutnya. Semua itu bermuara pada hal yang kurang lebih sama: keinginan berlebaran di kampung halaman, keinginan berkumpul dengan sanak keluarga, dan kembali ke tempat kita berasal. Ada ikatan kekeluargaan yang cukup kuat pada manusia Indonesia yang tidak bisa terlindas oleh modernitas dan kemajuan zaman. Paling tidak hingga lebaran tahun ini. Semua itu menafikan analisis para ahli yang mengatakan bahwa ikatan batin orang Indonesia dengan keluarga, tanah leluhur dan kampung halaman sudah mulai renggang.

Fokus tulisan kali ini bukan pada fenomena arus mudik yang kini didominasi oleh kendaraan bermotor roda dua, melainkan pada hal lain yang lebih menarik. Biasanya pada saat lebaran, kita semua saling bersikap manis dan pemaaf, serta berusaha mengisi hari dengan menebarkan senyuman. Semuanya itu kita lakukan bukan dalam rangka tebar pesona, melainkan karena kita sadar betul bahwa lebaran adalah saatnya semua kembali ke kilometer nol. Tidak ada kemarahan, tidak ada kegusaran, dan tidak ada kedengkian. Tiba-tiba orang yang dulunya kikir, kini menjadi baik hati. Orang yang sebelumnya enggan bertegur sapa, kini menjadi ramah. Namun, sayangnya, hal itu tidak terjadi terus-menerus. Hanya terjadi setahun sekali pada saat lebaran. Seandainya lebaran terjadi setiap hari. Alangkah indahnya hidup ini.

Friday, October 05, 2007

Rasa Sayange

Rasa sayange, rasa sayang sayange.
Eee ... liat dari jauh rasa sayang sayange.


Selain versi ini, ada juga versi-versi lain yang sedikit berbeda dan juga dikenal di Indonesia.

Rasa sayange, rasa sayang sayange.
Lihat nona dari jauh rasa sayang sayange.


Rasa sayange, rasa sayang sayange.
Beta liat dari jao(h) rasa sayang sayange.


Itulah bagian awal dari sebuah lagu rakyat yang dinyanyikan oleh hampir semua anak negeri mulai dari Semenanjung Malaya sampai ke pantai-pantai di penghujung Papua. Nampaknya, bagian awal itu pula yang menjadi chorus dari lagu rakyat ini. Dugaan ini cukup kuat karena chorus biasanya dibuat dari kumpulan notasi yang mudah diingat oleh pendengar dan notasi melodinya pun tidak terlalu panjang. Selain itu, bagian chorus biasanya dinyanyikan berulang-ulang untuk menguatkan citra komposisi sebuah lagu. Bagian lainnya yang berupa verse atau bait terdiri atas sampiran dan isi; mirip sekali dengan struktur pantun. Yah, kemiripan itu wajar juga karena bagian verse ini umumnya pun diisi oleh pantun-pantun tersohor, misalnya: "Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi (sampiran); kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi (isi)." Kelihatan sekali bahwa lagu ini merupakan lagu pergaulan karena sifatnya mirip dengan pantun yang mengharuskan penyanyi terdiri atas, paling sedikit, dua kubu dan saling bersahut-sahutan.

Sebenarnya, dalam khazanah lagu rakyat di nusantara, cukup banyak lagu-lagu berpantun seperti ini, baik yang sifatnya terbatas maupun bebas seperti Rasa Sayange. Lagu Cacamarica mungkin salah satu contoh lagu berpola sampiran-isi, namun bersifat terbatas. Kemudian, lagu melayu Selayang Pandang dan lagu Keroncong Kemayoran bisa dikategorikan sebagai lagu berpola sampiran-isi yang bersifat lebih bebas. Pada kedua lagu terakhir, sebuah pantun, asal memenuhi kaidah sampiran-isi dengan jumlah sukukata 9 untuk tiap bait, dapat dimasukkan seluruhnya ke dalam kerangka verse lagu-lagu tersebut. Rumus itu pula yang berlaku untuk Rasa Sayange. Di luar komunitas bahasa Melayu, lagu berpola sampiran-isi juga cukup banyak ditemukan di komunitas bahasa lain, misalnya bahasa Jawa. Lagu Walang Kekek, Gethuk, dan terakhir lagu adaptasi Cucak Rowo adalah contoh dari sekian banyak lagu berpola sampiran-isi seperti ini.

Kembali ke Rasa Sayange, lagu ini pulalah yang belakangan ini menjadi rebutan di antara dua negara serumpun dan menjadi bahan diskusi panjang mulai dari warung kopi, hingga ke ruangan berpendingin para wakil rakyat. Adalah Malaysia Tourism Board yang memulai melempar batu ke kolam yang tenang dengan mengusung lagu Rasa Sayange itu sebagai jingle promosi wisata mereka. Dan seperti biasa, masyarakat Indonesia, yang mungkin belum lupa dari rasa sakit akibat peristiwa wasit karate atau TKI, bereaksi keras dan mengecam cara Malaysia mengakuisisi lagu rakyat yang juga dianggap sebagai milik masyarakat Indonesia itu.

Masalahnya agak sulit memang karena lagu rakyat ini sama-sama diklaim sudah lama dinyanyikan baik di belahan Malaysia maupun di belahan Indonesia. Saya pun sudah mengenal lagu ini, dengan tiga versi chorus di atas, ketika masih kecil. Sulitnya lagi adalah, seperti umumnya karya-karya lama, tradisi nusantara lama tidak mengenal adanya hak cipta dan mempunyai doktrin bahwa karya seni adalah milik masyarakat luas, maka pencipta sangat jarang membubuhkan namanya di belakang karya ciptaannya. Jadi, meskipun masyarakat Maluku mengklaim lagu rakyat itu milik leluhur mereka kalau penciptanya NN, mungkin susah untuk membuktikannya.

Satu-satunya yang paling mungkin adalah dengan melakukan analisis linguistik dan etnomusikologi. Dari sisi linguistik, karena ini yang paling mudeng buat saya, barangkali klaim beberapa tokoh Maluku di media massa ada benarnya. Dalam dialek atau bahasa yang dituturkan di Pulau Ambon dan sekitarnya, partikel -e biasanya memang sering digunakan. Jejaknya pun bisa kita temukan dalam lagu-lagu dari ranah Maluku tersebut. Misalnya, penggalan lagu Buka Pintu, "Buka pintu buka pintu, beta mau masuke; siolah nona nona beta, adalah di mukae;" atau penggalan lagu Hela Rotane, "Hela hela rotane rotane tifa jawa, jawae bebunyi; rotan rotan sudah putus sudah putus ujung dua, dua baku dapae." Selain itu, dari segi pilihan kata pun, dalam dua versi terakhir di atas ada kata nona dan beta yang secara kuat menunjukkan pengaruh dialek-dialek atau bahasa-bahasa di Indonesia Timur. Jarang sekali kita temukan penyebutan perempuan muda dengan kata nona di dalam masyarakat Melayu di sisi barat Indonesia. Juga jarang sekali penggunakan kata beta untuk merujuk orang pertama di komunitas tersebut. Kalaupun kedua bentuk itu kini digunakan di wilayah yang lebih luas, itu terjadi pada masa modern dan berkat penyebaran media massa.

Selain aspek morfologis dan leksikal tersebut, kita bisa juga melihatnya secara intertekstual dengan melihat teks-teks atau lagu-lagu yang lain. Dalam khazanah lagu rakyat di Indonesia timur, ada juga beberapa lagu yang berjudul atau menggunakan kata sayang secara signifikan. Sebut saja, misalnya, lagu Sayang Kene dan Si Patokaan.

Dari aspek musik, beat atau birama pada lagu Rasa Sayange jelas tidak seperti umumnya lagu-lagu Melayu atau dari wilayah Barat. Notasi dalam Rasa Sayange lebih mempunyai kemiripan dengan notasi lagu-lagu dari Maluku. Namun, itu memang perlu dibuktikan oleh ahli etnomusikologi. Jelas itu bukan pekerjaan mudah.

Di luar itu semua, tulisan ini dilandasi oleh semangat untuk menjunjung tinggi persaudaraan antara Indonesia dan Malaysia. Sebaiknya masyarakat Indonesia tidak cepat terpancing emosi. Segalanya harus dipikirkan matang-matang terlebih dahulu, dan pemerintah sebaiknya meninggalkan kebijakannya selama ini yang cenderung reaktif. Sebaliknya, ini juga penting, Malaysia juga tidak boleh gegabah dalam memperoleh pengakuan hak-hak intelektual, khususnya mengenai hasil kebudayaan yang cenderung dimiliki secara berbagi oleh kedua buah negara. Sebaiknya, Malaysia lebih keras lagi--karena lebih kuat secara ekonomi--untuk menggali produk-produk kebudayaan yang khas Malaysia.

Dua negara yang punya banyak kemiripan ini sebenarnya bisa menjadi tetangga yang akrab. Jadi, kenapa tidak berusaha menjadi jiran yang baik? Tidak mudah memang. Namun, bisa diawali dengan tidak ada rasa curiga di sisi Indonesia. Cobalah masyarakat dan bangsa Indonesia beriktikad baik untuk mengenali jiran Malaysia dengan lebih baik karena dengan demikian akan tercipta pemahaman yang utuh. Di sisi lain, juga tidak boleh ada rasa mencemooh atau merendahkan di pihak Malaysia. Ingatlah, tidak ada yang lebih baik, dan lebih buruk di antara kedua negara. Secara ekonomi, Malaysia memang jauh lebih baik dari Indonesia saat ini. Namun, dari sisi kehidupan politik dan budaya, siapa yang bisa menutup mata terhadap kemajuan Indonesia di bidang ini? Bahkan, teman-teman dari Malaysia pasti akan setuju. Jadi, ada baiknya masyarakat Malaysia juga memulai iktikad baik dengan tidak memanggil jiran Indonesia dengan "Indon". Bukankah, para sahabat di Malaysia pun tidak ingin dipanggil dengan sebutan "Mal"--misalnya--dengan konotasi merendahkan? Nah, kenapa kita tidak merenungkan judul lagu yang sedang diperdebatkan ini: Rasa Sayange. Tak kenal, maka tak sayang.

Tuesday, September 11, 2007

Genre Film Horor = Film Berkualitas Rendah?

Dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan seorang sahabat, saya sempat beradu argumen bahwa tidak selamanya film yang bergenre horor itu berkualitas rendah. Dengan nada bercanda, sahabat saya lalu menyodorkan sederet judul-judul film horor seperti Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Mak Lampir, Sundel Bolong, Genderuwo, dan lain-lain. Memang secara kebetulan film horor yang dirujuk sahabat saya itu mungkin sulit kita kategorikan ke dalam kelompok film horor berkualitas. Coba kalau kita melihat film horor Asia seperti Shutter, Ju-On, atau Ringu; atau film horor Hollywood, seperti What Lies Beneath atau the Others? (Meskipun kedua film terakhir tersebut dalam kategori tertentu lebih sering dimasukkan ke dalam thriller, ada pula yang memasukkan ke dalam kategori horor); apakah kita masih menganggap genre film horor itu rendah kualitasnya?

Meskipun demikian, film-film yang disodorkan oleh sahabat saya tadi tidak bisa juga disepelekan begitu saja. Film-film horor semacam itulah yang pada zamannya teramat laris. Kita tentu masih ingat ada berapa sekuel Sundel Bolong dan Nyi Blorong dalam sejarah film Indonesia? Itu menunjukkan bahwa film horor merupakan salah satu film terpopuler di Indonesia.

Film horor memang menjadi salah satu genre film yang cukup populer di Asia; bahkan film horor dari Jepang, Thailand, dan--belakangan--Korea kian mempunyai reputasi yang cukup baik di kawasan ini. Alhasil, film horor Jepang, Korea, dan Thailand seperti menjadi jaminan bahwa penonton pasti akan merasa seram melihatnya. Seperti tidak ingin ketinggalan, Indonesia pun mulai keranjingan memproduksi film horor. Hanya saja, menurut saya, latar belakangnya agak berbeda. Saya teringat analisis Eep Saefulloh Fatah bahwa bangsa yang sedang mengalami kemunduran di segala bidang biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal yang gaib. Jadi, agak berbeda dengan Jepang, Korea, dan Thailand, saya kira, Indonesia beranjak dari titik yang berbeda. Akibatnya, bisa ditebak bahwa belasan film horor Indonesia yang muncul belakangan ini betul-betul jauh dari harapan, bahkan termasuk film Rudi Sujarwo Pocong 2 dan film Hanung Bramantyo Lentera Merah.

Ada semacam rumus dasar dalam membuat film horor Indonesia, yakni sosok hantunya harus seseram mungkin, sementara jalan cerita dan nalarnya tidak perlu diperhatikan karena toh masyarakat Indonesia belum sampai ke sana. Begitu mungkin yang terbersit dalam pikiran para produser, sutadara, dan penulis skenario. Mereka lupa bahwa penonton Indonesia masa sekarang sudah jauh berbeda dengan penonton Indonesia zaman sekuel Sundel Bolong-nya Suzanna. Mereka lupa bahwa pendidikan di Indonesia telah berhasil mengentaskan warganya dari lembah kebodohan. Para insan perfilman juga lupa bahwa kebanyakan mereka yang bisa pergi menonton ke bioskop-bioskop di kota besar dengan ongkos mahal dan yang justru menjadi sasaran untuk menangguk keuntungan adalah mereka yang telah cerdas dan kritis. Jika itu sampai diabaikan, jelas itu sebuah kekonyolan. Kini jelas bahwa para insan film sendiri tidak pernah mempertimbangkan realitas penonton film Indonesia; atau para insan perfilman itu memang tidak pernah mau berubah dari kondisi berpikir yang sama dengan 20 tahun silam?

Penonton sekarang tentu saja tidak akan tergetar hanya melihat sosok kuntilanak berpakaian putih yang terbang melayang, namun tanpa maksud jelas. Mereka tidak hanya puas melihat sosok menyeramkan itu. Mereka menuntut lebih. Selain sosok, musik juga berpengaruh untuk meningkatkan kadar keseraman. Namun, semuanya itu akan sia-sia belaka kalau tidak ada jalan cerita yang masuk akal, dan sekaligus menyeramkan. Jadi, fatsoen dalam membuat film horor Indonesia sudah saatnya berubah. Harus disadari bahwa bumbu film horor Indonesia masa kini adalah sosok, musik, alur nalar, dan perpindahan adegan yang "menyeramkan". Jalan cerita yang seram akan membekaskan kesan ngeri yang teramat mendalam, daripada sekadar sosok suster ngesot. Percayalah.